[Cerpen] Senja di Jembrana
Senja di Jembrana
Menunggu
adalah perkara melebarkan kesabaran dan berhadap-hadapan dengan risiko
ketidakhadiran. Itu yang dikatakan oleh ibu sehari sebelum dia meninggal. Saat
itu, saya tidak tahu ia sedang berbicara tentang ayah yang pergi meninggalkan
kami dan tidak pernah kembali lagi. Namun sekarang saya paham semuanya.
Terutama karena saya mengalami sendiri perasaan yang dulu ibu alami.
Saya
rindu perempuan itu. Perempuan ke-dua setelah ibu yang mampu membuat saya rela
menjadi seorang penanti, seorang penunggu. Seseorang yang menghabiskan waktunya
hanya untuk menunggu. Mendedikasikan setiap detik, menit, jam, hari, minggu,
bulan, tahun untuk menyambut sebuah kedatangan kembali. Untuk mendengar sebuah
‘Halo, ini aku, sudah pulang.’
Tetapi
ia tidak pernah datang.
Terakhir
saya melihatnya di atas feri yang sedang menambatkan diri di pelabuhan
Gilimanuk. Saat itu, di waktu yang bersamaan saya melihat sepasang kekasih yang
tampaknya turis domestik, turun dari feri. Mata saya tertumbuk pada mereka
karena wajah mereka berdua terlihat sangat bahagia. Seperti pasangan yang akan
berbulan madu. Kontras dengan kondisi hati saya yang sedang sangat sendu. Atau
mungkin saya hanya terlalu mendramatisir.
Tidak,
hati saya memang sedang biru.
Namun
tidak sepekat warna biru yang melekat di sekujur permukaan kanvas perempuan
itu.
Saya
tidak tahu apakah dia memang seorang pelukis atau hanya seseorang yang gemar
menggambar. Tetapi lukisannya sangat bagus. Sungguh. Saya bukan orang yang
paham bagaimana menilai sebuah karya seni, tetapi mata tidak bisa dibohongi,
bukan? Dan mata saya selalu seolah meleleh setiap melihat lukisan yang ia buat.
Bola mata saya mendadak dua batang lilin bundar yang tersiram cahaya hangat
yang memancar dari gambar di kanvas perempuan itu. Gambar yang selalu berwarna
jingga.
Gambar
yang selalu senja.
Perempuan
itu tidak pernah melukis benda lain selain matahari yang tenggelam. Tidak
pernah selain senja. Tidak dua gunung sejajar dan hamparan sawah serta langit
dan burung-burung seperti yang diajarkan sejak duduk di bangku TK. Tidak perempuan
telanjang seperti yang terpampang di adegan film Titanic. Tidak karikatur berwujud
presiden atau pejabat dengan pose dan bentuk aneh seperti setiap hari tercantum
di koran-koran lokal maupun nasional. Tidak gambar-gambar abstrak dan surreal
seperti lukisan Salvador Dali atau Max Ernst (saya tahu nama-nama itu dari
seorang teman yang kuliah di bidang seni). Perempuan itu hanya melukis senja.
Selalu senja.
***
“Senja
di Jembrana sangat indah.” kata perempuan itu.
“Senja
di tempat lain juga.” kata saya.
“Iya.
Tapi di sini lebih indah.”
“Apa
bedanya?”
Perempuan
itu menurunkan tangannya dari kanvas. Menghela napas dan melemparkan pandangan
lebih jauh. Saya bisa melihat angin mampir di lehernya yang bersih,
berputar-putar mengitarinya seakan ia pusat gravitasi untuk unsur-unsur alam di
sekitarnya. Saya rasa saya juga mulai turut berputar di orbitnya.
“Mungkin
karena ini adalah senja pertama yang saya lihat di daerah dengan zona waktu
yang berbeda.”
“Oh,
kau bukan asal sini?”
“Tidakkah
itu terlihat?”
Saya
mengangkat alis. “Ya, sedikit.”
Ia
melanjutkan melukis. Menyapukan kuas kecilnya. Kuasnya bergerak begitu lancar
seakan benda itu adalah bagian dari jari-jarinya sendiri.
“Kau
sedang menunggu?” saya bertanya lagi.
Perempuan
itu menghentikan gerak jarinya. Kemudian menarik napas cukup dalam sehingga
bahunya yang kecil tampak terangkat. Ia melumat beberapa menit waktu dalam
heningnya, sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaan saya.
“Dari
mana kau tahu?” ia balik bertanya.
“Hanya
menebak.” jawab saya.
Ia
kembali menyapukan kuasnya di atas kanvas. Kepalanya bergerak miring seakan
mengikuti alur garis halus yang sedang ia bentuk. Dari samping, saya melihat
bibir tipisnya menyunggingkan senyum. Senyumnya itu, seakan melontarkan berjuta
rahasia yang mengundang untuk diungkap. Saya terpaku sejenak. Mata perempuan
itu kecil, terbungkus kelopak mata tanpa lipatan seperti mata khas penduduk
daerah asia timur. Mungkin dia seorang cina. Mungkin campuran bugis atau
manado, karena kulitnya sangat putih. Lukisan yang ia buat menjadi sangat
kontras dengan warna tubuhnya.
Ada
yang unik dari senja di tanah Jembrana. Senja di sini hampir selalu datang
bersama formasi awan cumolonimbus dan fibratus cirrus. Kadang hanya salah satu
di antaranya, kadang pula keduanya. Semburat jingga dari matahari yang merambat
turun bercampur dengan serat-serat putih awan fibratus cirrus dan menjadi
pemandangan yang luar biasa. Seperti lukisan alam di hamparan langit biru tua. Setiap
ke Jembrana, selalu disambut dengan senja yang serupa. Dan senja itulah yang
dilukis oleh perempuan dengan kuas itu.
Perempuan
yang melukis senja. Dia membereskan alat lukisnya dan melangkah pergi
meninggalkan saya yang masih berdiri diam. Saya tidak bisa memanggil dia.
Seakan-akan suara saya seketika hilang dan hanya bisa menatap punggung
rampingnya menjauh.
Saya
belum sempat menanyakan namanya.
***
Aku
menunggu lelaki itu. Lelaki asing yang selalu memotret senja.
Sebelum
ini, aku tidak pernah menunggu. Aku benci menunggu. Menunggu adalah perbuatan
yang sia-sia. Menunggu adalah tindakan pasif dan melelahkan. Bagiku, menunggu
adalah pertanda kelemahan. Bahwa tidak ada hal lain lagi yang bisa dilakukan
selain duduk, diam, dan berharap segala yang diinginkan akan datang. Sungguh non sense.
Aku
lebih suka mengejar. Mengejar adalah tindakan aktif dan tidak membosankan. Dengan
mengejar, aku beberapa langkah lebih dekat kepada apa yang aku inginkan. Aku
memotong waktu, memangkas jarak. Aku bisa menentukan kapan aku akan sampai di
tujuan. Aku bisa memperkirakan seberapa jauh atau seberapa dekat lagi diriku
dari apa yang aku ingin raih. Waktuku terpakai dengan tidak sia-sia.
Namun
kali ini, aku tidak bisa mengejar dia.
Aku
tidak mampu mengejar dia. Dan pertemuan-pertemuan bersamanya, masih terekam
dengan jelas di dalam kepalaku.
“Hai.”
lelaki dengan kamera itu menyapaku. “Kita bertemu lagi.”
Aku
menundukkan kepala, mataku menatapnya. “Eng, iya..”
“Kau
sering ke sini?”
“Tidak.
Baru belakangan ini saja.”
“Dari
Surabaya juga?”
“Iya.
Kamu juga?”
Lelaki
itu menganggukkan kepalanya. Ia tersenyum. Rahangnya yang tegas bertumpu pada
batang lehernya yang besar dan kokoh. Bibirnya tipis dan senyumnya membentuk
sudut yang tajam di kedua pipinya yang tirus dan dihiasi rambut-rambut halus. Ia
membungkus tubuhnya dengan kaus putih dan bagian atas kakinya dengan celana
kargo selutut berwarna coklat tua. Rambutnya tampak berantakan tertiup angin
laut, namun aku masih bisa melihat matanya yang menyipit. Di sepasang matanya,
senja terpantul.
“Apa
yang kamu potret?”
Lelaki
itu memalingkan wajahnya ke laut. “Tidakkah jelas terlihat?”
“Senja?”
aku menaikkan alis.
Ia
mengangkat kameranya sejajar mata dan mulai membidik. Aku merasakan ada debar
yang aneh di dadaku saat melihat lelaki itu tampak asyik dengan dunianya
sendiri, menjebak pemandangan senja lewat lensa kameranya.
***
Itu
pertemuan ke-dua saya dengan perempuan pelukis senja.
Kali
ini saya sudah tahu namanya. Milana. Ia bercerita mengapa ia melukis senja. Dan
mengapa ia selalu melakukannya di atas feri yang menyeberang Selat Bali, dari Banyuwangi
ke Jembrana. Ia sedang menunggu kekasihnya. Ia yakin suatu saat kekasihnya akan
datang di tempat ia menunggu sekarang. Ia tidak tahu kapan. Tetapi ia berkata
kepada saya, bahwa ia bukan saja yakin, tetapi ia tahu, bahwa kekasihnya itu
akan datang.
“Pada
pertemuan ke-dua, aku membawa alat lukisku, dan menemani ia memotret senja.”
Milana tersenyum. “Sejak itu, kami berjanji untuk selalu bertemu di atas feri
ini dan sama-sama merekam senja. Dengan cara kami masing-masing. Dia memotret.
Aku melukis.”
Namun
entah mengapa, di balik senyumnya yang tersungging dan tampak bahagia ketika ia
mengingat-ingat kekasihnya, saya melihat ada yang kosong di matanya. Seperti
sebuah ruang yang telah ditinggalkan oleh penghuninya begitu lama. Seperti
sebongkah kenangan yang kehilangan intisarinya. Mata Milana terlihat kehilangan
nyawa, tak bercahaya, tak secerah senja yang setiap hari dilukisnya.
Saya
merasakan ada yang tidak benar dengan dirinya.
“Lalu?”
saya meminta Milana untuk bercerita lebih panjang lagi.
“Lalu?
Lalu, tentu saja kami jadi sering bertemu. Dia memotret. Aku melukis. Terus
seperti itu. Dia bahagia. Aku bahagia. Terus seperti itu.”
“Lalu
sekarang dia di mana?”
Tangan
Milana berhenti. Mengambang di udara. Ujung kuasnya mengawang tiga senti dari
permukaan kanvas. Saya menunggu penjelasan darinya. Ia masih diam. Bibirnya
terbuka, tetapi tidak ada satupun kata yang keluar. Jemarinya yang panjang dan
kurus gemetar. Sangat jelas terlihat. Saya mulai khawatir.
“Maaf.
Kalau kamu tidak mau cerita juga tidak apa-apa.”
Milana
menarik napas. Ia menundukkan kepalanya seraya menurunkan kuas dan meletakkan
tangannya di atas paha. Saya masih menunggu respons darinya.
“Aku
tidak tahu dia di mana.” akhirnya perempuan pelukis senja itu kembali bicara.
“Tapi aku tahu, dia pasti datang.”
“Tapi,
bagaimana kamu bisa-“
“Aku
tahu dia pasti datang!” Milana menekankan kuasnya ke kanvas dengan keras sehingga
membuat coretan panjang di lukisannya. “Dia. Pasti. Datang.”
Setelah
itu, Milana membereskan alat lukisnya dan bergegas meninggalkan saya. Lagi-lagi,
sebuah pertemuan yang tidak usai. Terasa jelas ada kegusaran di nada bicara
Milana ketika saya mempertanyakan keyakinannya tadi. Saya tidak tahu ada
sesuatu apa yang terjadi di antara ia dan kekasihnya. Tetapi saya tahu, itu
sangat mengganggu pikiran Milana.
***
Saya
sedang membuka halaman demi halaman majalah
travel langganan sebelum akhirnya mata saya berhenti pada sebuah halaman. Rubrik
yang sedang saya baca membahas topik khusus tentang travel photographer dan menulis daftar Most Famous Travel Photographer di Indonesia. Di halaman yang
sedang saya lihat, terpampang foto seorang lelaki dengan kamera yang
menggantung di leher. Lelaki itu mengenakan kaus putih dan celana kargo selutut
berwarna coklat tua. Ia tersenyum dengan tangannya dimasukkan ke dalam saku
celana.
Areno Adamar: Lelaki Perekam Senja, begitu
tajuk artikel yang menyertai foto tersebut. Are, begitu nama panggilannya
seperti yang ditulis, dikenal sebagai travel photographer muda yang sangat gemar memotret senja di berbagai tempat yang ia
datangi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Are adalah a rising star di kalangan travel photographer. Foto-foto senjanya adalah foto-foto senja
terindah yang pernah orang lihat. Ada semacam kekuatan magis yang menyedot
siapapun yang melihat foto-fotonya. Foto-foto senja Are sangat sederhana, tetapi
di setiap sudut gambarnya menyimpan atmosfer yang aneh yang membuat orang-orang
betah berlama-lama hanya memperhatikan gambar yang ia buat.
Saya
melanjutkan membaca. Dan kemudian menemukan sesuatu yang cukup membuat terhenyak.
Sayangnya, sekarang penikmat pemandangan
matahari tenggelam di nusantara tidak bisa lagi melihat karya-karya potret
senja Are yang fenomenal. Kecelakaan feri dua tahun lalu merenggut beberapa
nyawa, termasuk sang lelaki perekam senja yang memiliki senyum manis ini. Are
meninggal dalam kecelakaan feri yang menyeberang dari pelabuhan Padang Bai Bali
ke pelabuhan Lembar, Lombok. Perjalanan yang seharusnya menjadi bagian akhir
dari rangkaian tur LANSKAP, komunitas travel photography yang dirintis oleh Are, berubah menjadi tragedi yang memilukan. Are
ditemukan tidak bernyawa lagi, dengan kamera masih tergantung di lehernya.
Sampai
di sana, saya berhenti membaca dan menahan napas. Saya teringat Milana. Mungkinkah
lelaki perekam senja yang ia ceritakan adalah Are? Mungkinkah lelaki yang ia
tunggu setiap hari di atas feri Banyuwangi – Jembrana sambil melukis senja
adalah lelaki yang fotonya terpampang dalam artikel ini? Mungkinkah Milana
menunggu kedatangan orang yang sudah mati?
Saya
menutup majalah itu. Di luar, langit sedang sangat jingga. Saya ingin segera bertemu
Milana.
***
“Kamu
menunggu lelaki ini?”
Pria
itu menyodorkan sebuah majalah ke hadapanku. Di halaman yang ia buka, aku
melihat foto dia. Dia, lelaki yang merekam senja, lelaki yang aku tunggu. Areno,
lelaki yang aku sayang dan lelaki yang berjanji untuk menemuiku sepulangnya ia
dari rangkaian tur panjang bersama teman-temannya. Lelaki yang tidak pernah
ingkar janji. Lelaki yang tidak pernah terlambat satu menit pun saat menemuiku
di atas feri ini.
“Dia
sudah meninggal. Kamu tahu itu?” pria itu kembali berbicara.
Aku
tidak suka nada bicaranya.
Pria
itu melangkah mendekatiku. “Lelaki yang kamu tunggu, sudah meninggal, Milana. Apa
yang kamu lakukan?”
“Menunggu.”
“Dia
tidak akan kembali. Kamu tidak mengerti? Dia sudah tidak ada lagi.”
“Dia
ada. Dia sudah berjanji. Are tidak pernah ingkar janji!”
***
Saya
tidak bisa melihat perempuan itu seperti ini terus. Milana harus sadar dan
menerima kenyataan bahwa apa yang ia tunggu selama ini tidak akan pernah datang
kembali. Namun, ia menolak dan mementahkan semua kata-kata saya. Ia tidak bisa menerima
bahwa jelas-jelas Areno, lelaki perekam senja, sudah meninggal dalam kecelakaan
feri dua tahun lalu.
Milana
bersikeras bahwa Areno tidak meninggal. Dia hanya pamit pergi dan berjanji akan
menemuinya lagi di atas feri dari Banyuwangi ke Jembrana, seperti biasanya.
“Lelaki
itu tak akan kembali, Milana!” saya merampas kanvas perempuan itu dan
membantingnya, menginjaknya hingga rusak. “Dia tidak seperti senja yang kamu
lukis ini. Dia tidak akan datang lagi.”
“Kau..
Apa yang kau lakukan?!”
Milana
berlutut dan menyambar kanvasnya. Sontak airmatanya keluar dan membuat saya
semakin merasa bersalah. Namun, saya harus melakukan sesuatu. Tidak ada cara
lain untuk menyadarkan Milana, selain merusak ritual yang membuat ia terjebak
dalam bayangan janji kehadiran Areno kembali.
Lalu,
seperti yang sudah-sudah, Milana pergi meninggalkan saya dengan membawa
kanvasnya yang sudah saya rusak.
Kali
ini, ia pergi dengan berlari cepat dan airmata yang berderai.
***
Saya
rindu perempuan itu. Perempuan ke-dua setelah ibu yang mampu membuat saya rela
menjadi seorang penanti, seorang penunggu. Seseorang yang menghabiskan waktunya
hanya untuk menunggu. Mendedikasikan setiap detik, menit, jam, hari, minggu,
bulan, tahun untuk menyambut sebuah kedatangan kembali. Untuk mendengar sebuah
‘Halo, ini aku, sudah pulang.’
Tetapi
ia tidak pernah datang.
Milana
tidak pernah datang.
“Halo.”
Sayup-sayup
suara perempuan terdengar dari balik punggung saya.
“Sedang
menunggu sesuatu?” perempuan ini bertanya.
Saya
menghentikan jemari di atas buku kecil tempat saya mencatat macam-macam hal.
Kemudian menarik napas cukup dalam dan melumat beberapa menit waktu dalam hening,
sebelum akhirnya saya menjawab pertanyaan perempuan asing ini.
“Dari
mana kau tahu?” saya balik bertanya.
“Hanya
menebak.” jawab dia.
***
Komentar
Yang pasti ini bukan elegy .
Selamat bang ben . Bisa mencipta karya yg memukau seperti ini .
Kak Bara :)
Sebelumnya saya mau minta maaf, soalnya di komentar saya yang (kayaknya bakal) panjang ini, mungkin bakal ada beberapa omongan yang kurang enak buat Kak Bara, eventhough i am not a profesional writer like you. Anyway, we never talked before but i'm the one of your fans :)
Kesan pertama saya buat fiksi ini: happy end. Dimana plot yang diambil begitu teratur dan terstruktur, dengan bagian awal yang kata-katanya sama dengan bagian akhir. Seolah, dari awal sudah terlihat spoiler bagaimana cerita ini, yaitu penantian. Menanti, menunggu. Definisi 'menunggu' yang dibuat (dari POV 'saya') juga keren banget, salah satu kalimat yang berkesan buat saya.
Dari definisi 'menunggu' yang ditulis: 'melebarkan kesabaran dan berhadapan dengan risiko ketidakhadiran', saya bisa melihat sosok ibu tokoh 'saya' sebagai sosok yang mengajarkan kepada putranya untuk selalu berharap sesuatu yang positif, pun bersiap apabila sesuatu itu menjadi negatif. Saya bisa melihat aura kedewasaan dari tokoh ibu 'saya', walaupun tokoh itu ga diceritakan secara eksplisit. Kecil sih, tapi berarti buat saya, karena setiap karakter memang seperti didesain khusus.
Penggunaan POVnya juga saya suka. Di sini hanya menggunakan 1st POV, tapi kata 'saya' dan 'aku' membuat semuanya berbeda. Kalo kata orang, 1st POV itu bagaimana untuk menggali perasaan lebih dalem, dan di sini keliatan. Perasaan 'saya' terlukis banget, pun perasaan Milana. Karena mungkin di sini kalo pake 3rd POV serbatahu pun masih sangat kurang untuk menggali perasaan mereka berdua, ya? Lagipula ada flashback perjalanan Milana, ketika Milana berkenalan dengan Areno itu yang dituliskan dengan POV 'aku', di situ juga memperkuat alasan kenapa cocok pakai 1st POV sih, in my opinion :)
Terus deskripsinya, ini deskripsinya keren banget, keliatan banget saat nulis juga turut membayangkan apa yang terjadi ya? Soalnya penggambaran visualisasinya itu jelas banget, dari bagaimana figur 'saya' dan Milana, bagaimana senja itu, bagaimana cara Milana menggores kuasnya, sampe bagaimana yang dipakai Areno di artikel pun ada. Jelas banget. Suka! Jadi bisa mengembangkan imajinasi sendiri. Tapi, ada sedikit yang mengganjal buat saya. Menurut saya sih, keempat panca indera di sini kayak kurang terdeskripsi. Mungkin akan lebih asyik lagi seandainya ada semacam pendeskripsian dari panca indera lain; misalnya bau khas laut atau debur ombak, atau telapak kaki yang menapak butir-butir pasir (asumsi saya ini di pantai), ketika adegan Milana kedua kali bertemu Areno yang flashback itu. Lebih 'dapet' pasti! :)
Terus, fiksi-fiksi Kak Bara itu...yang saya suka, hampir selalu ngajarin untuk melihat hati lebih dalam. Tokoh 'saya' di sini digambarkan seorang lelaki yang in the end, 'saya' juga akan mengikuti kata hatinya sendiri. Walaupun nggak ada tulisan eksplisit di sini bahwa 'saya' mengikuti hatinya, tapi terlihat dari selogis-logisnya 'saya' berpikir, bahkan sampai menyadarkan Milana bahwa Areno sudah tiada, tetap saja pada akhirnya 'saya' juga menunggu Milana. Tetap saja 'saya' mengikuti kata hati 'saya', walau 'saya' tidak tahu apakah penantian 'saya' akan berakhir bahagia atau sedih. Dan untungnya bahagia!
Dengan karakteristik dua tokoh utama seperti itu, fiksi ini ceritanya mengalir banget! Adegan demi adegan dikemas dengan rapi, sehingga pembaca bisa menangkap apa yang terjadi secara jelas dan pasti. Porsi adegannya juga ngga berlebih dan ngga kurang. Eh ada satu yang kurang. Mungkin, kegalauan 'saya' saat menunggu Milana engga terlalu terlihat, setelah adegan banting kanvas itu langsung tiba-tiba timeskip dan Milana kembali. Mungkin kalau kegalauannya ditambah, permainan emosinya juga akan lebih lagi! Ah, itu cuma pendapat pribadi aja kok :)
Terus dilatarbelakangi senja, feelnya juga semakin dapet. Entah kenapa senja itu emang cocok buat yang romantis-romantis galau gitu menurut saya. Tapi yang pasti, dijelaskan latar tempat dan waktu di sini membuat pembaca ngga bertanya-tanya seperti apa situasi di sana saat membaca. Sekali lagi, visualisasinya sangat jelas.
Beberapa kritik kecil, ada satu paragraf di paragraf agak awal yang bikin saya mengernyitkan dahi: 'Bola mata saya mendadak dua batang lilin...' mungkin ada kata yang miss diantara kata 'mendadak' dan 'dua'? Lalu juga tanda elipsis, nggatau kenapa saya liat (..) kok jadi aneh, soalnya elipsisi kan titiknya ada tiga (...). Terus soal kutipan, instead of ["Your sentence here." katanya] bukannya setau saya harusnya ["Your sentence here," katanya]? Sebelum tanda petik setau saya itu tanda koma, bukan titik. Kecil sih, tapi kalau cukup banyak agak sedikit gatel juga :)
Selebihnya udah tercakup di atas. All in all, saya suka. Saya suka bagaimana penggambaran penantian di sini, temanya memang bener-bener penantian ya (Milana nunggu Areno, 'saya' nunggu Milana, juga diselipi dengan ibu yang menunggu sang ayah dan Milana yang menunggu batinnya untuk menerima keadaan ini, mungkin?). Oh, ada satu yang mengganjal, sesungguhnya saya penasaran siapa nama tokoh 'saya' yang nggak diungkapkan di fiksi ini. Cuma penasaran dari hati saya aja sih sebagai pembaca, walaupun kalau nggak dikasih tau tetep aja nggak mengubah fiksi ini secara esensial :p
Terima kasih karena cerpen ini udah mengisi kekosongan saya saat saya terbangun di tengah malam tadi! Saya juga belajar banyak dari sini, banyak vocabulary baru yang saya pelajari yang bisa saya gunakan di tulisan-tulisan pribadi saya selanjutnya. Maaf kalau ada yang menyinggung atau kepanjangan, thank you so much for writing this! :D
Warm regards,
me.
milana.... are,, 2 pribadi yang beda tapi semua mirip sama aku haha
beda nya are suka senja, aku lebih suka awan biru cerah dengan gradasi awan putih tipis, ah so peacefull!!! sering aku abadikan dengan kamera diponselku, dimanapun aku melihat suasana yang seperti itu..
milana.. ntah kebetulan ntah apa, aku jg suka melukis, eh tepatnya menggambar... tp lebih tepatnya, aku suka menggambar punggung seseorang.. someone that i love.. hehehe :))
dimana dengan melihat punggung seseorang aku merasa kalo i still wait him, i understand him without know what he doing there, dan aku akan selalu melindunginya dari belakang, ntah bang ada kepuasan tersendiri melihat seseorang dari punggungnya..tau ga kemanapun aku pergi, aku selalu bawa scketch book lho :) ehehe
milana, juga ntah kebetulan ntah bukan, aku jg fans berat ac milan "milan angel" dari usiaku 12 tahun sampe aku 21 tahun ini, jadi nama itu terlihat sangat indah buat aku ehehe
pengen deh ngepost salah satu gambar aku yg bisa nge gambarin milana dan are itu, gambar yg beberapa bulan yg lalu aku gambar.. ya ntah kebetulan ntah apa itu, mirip aja sih..hehe
kalo mau liat aja di akun twitterku ada @alinepriesti ga di follow jg gapapa itu jg kalo abang berkenan melihat :))
pokoknya cerpen abang yg 1 ini inspirated banget buat aku, ya walaupun aku ga bisa nulis..tp seenggaknya cerpennya menggambarkan aku bgt! ilove it..
walopun ga jadi penulis yg baik kaya bang bara, aku bakal nerusin hobiku gambar punggung deh eheheehe..
proud of you bang!!!! terus berkarya yeay \m/
:D
Aku suka sekali bagian itu, bang :)
Kalau aku tidak membaca ini di tengah rapat kampus malam ini, mungkin aku sudah benar-benar menangis.
Barangkali aku bisa merasakan sedikit yang dirasakan milana, karena 3 tahun yang lalu aku juga kehilangan seseorang. Dia pergi sehari setelah kecelakaan tunggal yang dia alami.
Dan senja, adalah salah satu waktu ketika banyak kenangan menyerbu, membawa rindu dari masa lalu, masa kecil, masa yang telah lewat.
Barangkali juga, sampai sekarang aku sedikit seperti Milana, masih menunggu dia.
Namanya "Andhika." :')
Saya kangen dia, ingin bertemu dia, meski sadar dia sudah nggak ada.
kenapa dan kenapa,, gw harus keinget ama dia lagi :|
Tapi sumpah keren amat ni ceritanya :'(
Mewekk dah :'(
Cerpen yang menarik dan bagus :)
nyeseknya sampe ke ulu hati... :'3
menunggu sesuatu yang jelas2 tlah tiada.. Sebuah keromantisan yang bodoh..
Kak benzbarra sebagai penulis tak hanya menceritakan bagaimana "milana" melukis, tetapi kakak sendiri seakan membuat cerita ini seperti pelukis yang menuangkan warna-warnanya di atas kanvas dan membentuk lukisan yang sangat indah dinikmati. Saya kagum dan menikmatinya lukisan cerita kakak benzbarra pada cerpen ini. Sukses ya. Amin
Kak benzbarra sebagai penulis tak hanya menceritakan bagaimana "milana" melukis, tetapi kakak sendiri seakan membuat cerita ini seperti pelukis yang menuangkan warna-warnanya di atas kanvas dan membentuk lukisan yang sangat indah dinikmati. Saya kagum dan menikmatinya lukisan cerita kakak benzbarra pada cerpen ini. Sukses ya. Amin