[CERPEN] Nyctophilia
Dimuat di Koran Tempo, Minggu 3 November 2013
Nyctophilia
Cerpen Bernard Batubara
Aku kira Levin Limark tak lagi bertemu
dengan Joséphine, perempuan bermata kucing itu, ketika pada satu malam beberapa
bulan yang lalu aku melihat mata malaikatnya menembus mataku di kedalaman dan
menyentuh kalbuku. Sudah begitu lama aku tak lagi merasakan cinta, dan lelaki
itu mengembalikan perasaan beruntung saat ia memelukku dan menciumiku dan kami
bercampur dalam kegelapan seperti malam-malam sebelumnya.
Levin Limark meyakinku bahwa aku adalah
satu-satunya kekasihnya. Aku tak mudah percaya. Kau tahu, setelah disisihkan
dari orang-orang terkasihmu dan kau dibuang dari kehidupan, kau takkan mudah
percaya dengan apapun lagi atau siapapun. Mungkin ketika sampai pada sebuah
keberhasilan, orang-orang yang melecehkanmu akan datang kembali dan
bermanis-manis padamu, tapi kau hanya mendengar kata-kata kosong mereka dan kau
lalu meninggalkan mereka tanpa minat.
Semula itulah yang kulakukan pada Levin
Limark. Aku menolak cinta lelaki itu sebab kukira ia sedang mabuk dan kami
bertemu pertama kali di sebuah bar. Dan memang ia sedang mabuk. Aku hanya minum
sedikit sebab malam itu aku sedang berminat pada hal lain. Seorang teman
membuka toko lingerie yang amat mewah
dan koleksinya teramat bagus. Aku sudah menaksir beberapa, tetapi mungkin nanti
aku baru membelinya setelah lukisanku terjual.
“Selamat malam, Cantik. Siapa gerangan yang
berani meninggalkan bidadari sendirian di tempat seperti ini?” Levin Limark
duduk di sebelahku dan bicara dengan nada seorang lelaki murah. Aku belum
mengenalnya saat itu.
Kukatakan kepadanya dengan nada datar. “Aku
tak berminat.”
“Ayolah, Cantik. Malam ini terlalu indah
untuk dilewati tanpa siraman cinta. Ihik.
Cantiiik… Ihik!”
Aku menoleh, dan saat itulah kulihat mata
Levin Limark yang layaknya malaikat. Namun ketika itu ia sedang mabuk dan
sinarnya tak begitu cemerlang. Setengah kepalaku masih memikirkan lukisan dan
seperempatnya lagi membayangkan lingerie baru
merah marun. Aku menatap minumanku dan dentuman musik masih mengisi udara penuh
asap rokok dan bau keringat manusia.
“Pergilah.” kataku.
“Aku hanya ingin mengajakmu makan malam, dan
melihat bintang-bintang. Langit Perancis tak mengizinkanmu untuk menghabiskan
waktu dalam kemurungan, Nona…”
“Dengar, orang asing. Aku tak berminat
denganmu.” Aku meneguk minumanku hingga tandas lalu bangkit dari tempatku
duduk. “Lagipula, ini Jakarta. Bukan Perancis.”
Kutinggalkan Levin Limark yang tampak
kebingungan. Kurasa dia mabuk cukup berat hingga mengira ia sedang berada di
Perancis. Tapi aku merasa sedikit bersalah telah menyadarkannya bahwa ini masih
Jakarta. Masih kota penuh debu dan kecurangan, tipu muslihat, dan tentu saja orang-orang
bertopeng yang merasa dirinya lebih suci dari Tuhan.
***
“Oh, Jamelia, aku mencintaimu.”
Levin Limark tergeletak di atas kasur dengan
napas terengah, memanggil namaku dengan bahasa Indonesia dan aksen Spanyol yang
agak samar. Oleh lidahnya, aku adalah Hamelia, bukan Jamelia. Setelah
percintaan kami yang pertama, barulah ia bercerita tentang asalnya. Lelaki itu
peranakan Korea-Amerika. Namun separuh umurnya hingga sebelum ia bertemu
denganku telah dihabiskan di Perancis. Dan ketika itulah aku mengenal nama Joséphine
dari cerita-ceritanya.
“Sesungguhnya Perancis lebih indah dari
Jakarta, Jamelia.” Ia membelai rambutku dalam kegelapan. Lampu kamar masih belum
kunyalakan.
“Lalu mengapa kau ke Jakarta?”
“Aku mencari Joséphine.”
“Siapa Joséphine?”
“Ah, dia adalah perempuan yang kepadanya aku
rela menyerahkan seluruh harta benda milikku. Bahkan jiwa dan ragaku, Jamelia!
Tapi hubungan kami tak berjalan baik. Ia meninggalkan Perancis dan kabar
terakhir yang kudengar ia berada di Jakarta. Eh tak apa-apa aku cerita soal ini?
Maaf jika aku membuatmu tak nyaman.”
Aku menggeleng. Aku tahu ia bukan milikku.
Tanpa kata-kata atau perjanjian, kami sepakat untuk berhubungan dengan alasan
sama-sama bersenang-senang. Aku tak masalah sebab memang aku menghindari
hubungan yang merepotkan, seperti komitmen misalnya. Bukan berarti aku tak
ingin, hanya saja dengan kondisi diriku seperti ini aku tak yakin bisa menemui seseorang yang mampu
mencintaiku dengan tulus tanpa prasangka.
Setelah memiringkan tubuhnya, Levin Limark meraih
sebungkus rokok di atas meja di dekat kasur. Aku memperhatikan garis lekuk otot
dan tulang belakangnya. Kulit lelaki itu seperti hangus. Aku lebih suka lelaki
berkulit putih, tapi Levin Limark menyihirku dengan pesona mata malaikatnya
yang kecil dan berkilau, maka aku mulai menyukai bagian dirinya yang lain.
“Aku belum pernah ke Perancis.” kataku seraya
menarik selimut hingga leher.
“Oh, Jamelia. Kau harus ke sana. Lebih
banyak lagi romantika yang membahagiakanmu dan kau tak perlu berseteru dengan asap
dan tipu muslihat Jakarta.”
Aku menyukai Levin Limark karena ia juga
membenci Jakarta.
“Jamelia?”
“Ya?”
Lelaki itu sekarang memiringkan tubuhnya ke
arahku. Aku tak bisa menghindar dari tatapan matanya yang tak memiliki kelopak
itu.
“Apa kau selalu bercampur dalam gelap,
seperti ini?”
“Hmm.”
“Aku ingin melihat wajahmu, Jamelia.
Maksudku, saat kita bercinta.”
“Apa pentingnya wajahku, Sayang? Bukankah kau
sudah menguasai tubuhku sepenuhnya?”
“Ya. Tapi aku ingin menikmati wajahmu juga.
Dan tak bisakah aku melakukannya dari depan? Ini sudah percintaan kita yang kelimabelas
dan kau selalu memintaku untuk melakukannya dari belakang.” Levin Limark mengembuskan
asap rokoknya dan membentuk bulatan-bulatan. “Mungkin… Aku bosan. Aku ingin
yang berbeda.”
“Besok kita pakai gaya kuda.”
“Bukan begitu, Jamelia.” Levin Limark
mengernyitkan dahinya dan memandangku dengan kekhawatiran seorang ayah. “Aku
merasa ada yang kau sembunyikan dariku.”
“Tidak ada, Sayang. Aku hanya tak bisa kalau
melakukannya di bawah cahaya benderang. Aku malu.” Aku mengusap lembut rahangnya
yang kasar dan tegas.
“Kenapa malu, Jamelia? Kau teramat cantik
dan tubuhmu, aduh, bahkan Joséphine pun akan memujamu.”
Aku tersipu juga saat ia berkata seperti
itu. Kurasa dia banyak belajar menggombal di Perancis sana. Tapi malam itu
kutinggalkan dia tanpa jawaban. Dia tak melanjutkan pertanyaannya sebab kurasa
dia lelah.
Kupandangi Levin Limark ketika ia sudah
tertidur pulas. Sejak mengenalnya, keberuntungan seolah selalu berada di
pihakku. Lukisanku semakin banyak terjual. Levin Limark membawa teman-temannya
para pengusaha dan kolektor lukisan ke setiap pameranku. Aku bisa mengirim uang
lebih ke rumah, ke kampung.
Ke ibu.
***
Saat pertama kali aku bertemu Levin Limark
yang mabuk dan kutinggalkan ia pergi, ternyata lelaki itu menyusulku dan tak
membiarkan aku lepas dari pantauannya. Tiba-tiba saja aku jadi ngeri, sekaligus
tersanjung. Ia mengikutiku hingga ke apartemen namun aku tak berteriak panik
seperti seorang perempuan sedang dikuntit oleh perampok atau pemerkosa.
Kubiarkan ia berada dalam keinginannya mengenalku dan ketika aku sampai di
depan apartemen, ia berdiri tiga meter di belakangku.
“Langit Jakarta di malam hari juga baik.
Maukah kau makan malam denganku?”
Kurasa pengaruh alkohol masih belum hilang
dari kepalanya. Aku membalikkan badan dan berjalan mendekatinya. Sepatu hak
tinggiku meninggalkan bunyi tuk, tuk, tuk, yang anggun.
“Dengar ya, Tuan…”
“Limark. Levin Limark. Terima kasih mau bicara
denganku Nona…”
“Tuan Levin. Aku tak tahu apa maumu tapi ini
sudah larut dan aku lelah dan tak ingin makan. Carilah teman lain.”
Untuk kedua kalinya, aku meninggalkan lelaki
itu dan berjalan hendak masuk ke dalam apartemen. Saat berdiri di depan pintu
masuk, aku menoleh lagi hanya ingin memastikan bahwa lelaki itu telah pergi. Namun
ia masih berdiri di sana dengan keteguhan seorang pejuang dan ia tak melepaskan
tatapannya dariku. Pada saat itu aku tahu ia takkan pergi sebelum keinginannya
terpenuhi. Maka aku berjalan kembali mendekatinya dan suara sepatuku
meninggalkan bunyi tuk, tuk, tuk.
“Baik, Tuan Levin. Di dekat sini ada market 24 jam. Aku tidak makan tapi aku
akan menemanimu. Setelah itu, kau harus pergi.”
Levin Limark tersenyum lebar dan matanya
yang bagai malaikat berubah menjadi garis.
Malam itu Levin Limark menghabiskan tiga
potong croissant daging dan sebungkus
roti coklat. Aku hanya minum susu kotak dan melihatnya dengan biasa. Kemudian
ia meneguk kopinya hingga habis dan mulai bercerita lagi. Aku hanya ingin
cepat-cepat pulang ke apartemen dan menghempaskan tubuhku ke kasur.
“Dunia ini penuh orang-orang aneh, Jamelia.”
Saat itu aku terpaksa menyebut namaku sebab
tak ingin ia memanggilku dengan ‘Nona’ atau ‘Cantik’ lagi. Itu terdengar panggilan
yang gombal dari lelaki murah pemabuk.
“Katakan kepadaku.”
“Aku bercerita kepada teman-temanku di sini
bahwa aku meninggalkan Perancis menuju Jakarta untuk mencari dan menemui
perempuan yang kucinta, dan mereka semua tertawa seolah aku gila.”
“Kau memang gila.”
“Kapankah cinta tidak membuatmu gila,
Jamelia?”
Aku tak menjawab itu dan hanya merespons
dengan bibir yang terangkat sebelah.
“Ibuku bilang, jika kau belum gila karena
cinta, maka kau masih memberi hatimu setengah-setengah. Dan kau tak hanya akan
gagal mendapatkan cinta, tapi hal-hal yang lain juga dalam hidupmu jika kau
memberi hati setengah-setengah.”
Aku tak tahu apakah Levin Limark masih mabuk
saat ia mencerocos tentang hal-hal tersebut. Tetapi ketika aku kembali ke
apartemen bayangan ibu melayang-layang di depan wajahku. Tiba-tiba aku ingin
menangis karena merasa aku telah melakukan kesalahan yang sangat banyak. Dan
mungkin sudah tak ada waktu lagi bagiku untuk memperbaiki semuanya. Namun aku
tahu hanya ibu yang masih menerimaku. Aku ingin suatu saat menemuinya, dan
ketika tiba saat itu kurasa aku telah berani untuk pulang dan menceritakan
hal-hal yang terjadi padaku.
Tetapi tidak untuk saat ini.
***
Pada percintaan kami yang keduapuluh, Levin
Limark bercerita bahwa akhirnya ia bertemu dengan Joséphine. Aku sedikit
cemburu, tapi aku tak menunjukkannya. Kubiarkan ia berkisah dengan semangat
seorang bocah lelaki dan kuusap rambutnya yang berwarna burgundy. Darinya aku tahu bahwa Joséphine adalah seorang psikolog dan
Levin Limark jatuh cinta kepada perempuan itu setelah menyadari bahwa hanya Joséphine
yang sanggup bertahan dengan kegilaannya.
“Jamelia, aku bercerita banyak kepada Joséphine
tentangmu.”
“Oh, ya?” Aku tersipu.
“Ya. Kata Joséphine, mungkin kau mengidap nyctophilia.”
“Nycto
apa?”
“Nyctophilia.
Katanya, kau menemukan rasa nyaman dalam kegelapan. Bahkan, kau mencintai
kegelapan.”
“Aku tak tahu ada istilah untuk itu. Aku
memang lebih menyukai malam hari daripada siang atau pagi karena pada
waktu-waktu itu aku masih mengantuk dan tak ingin melakukan apa-apa. Tapi nyctophilia, hmm, itu terdengar seperti
sebuah kelainan.”
“Kalaupun itu kelainan, takkan mengubah
apapun cintaku padamu, Jamelia.”
“Benarkah?” Aku tersipu lagi.
Levin Limark meredam cemburuku yang tak ia
ketahui dengan percintaan tambahan. Ia membalikkan tubuhku dan dengan segera memasukiku
dari belakang, seperti biasa. Aku sedang lelah tetapi ia tampak bersemangat.
Maka kubiarkan kegelapan menyelimutiku agar tetap nyaman dan menerima
serangan-serangan lelaki terkasihku itu.
Setelah selesai, ia tergeletak di sebelahku.
Aku menarik selimut hingga leher dan Levin Limark menyalakan rokoknya. Terdiam
beberapa saat, aku keluar dari selimut dan berjalan ke kamar mandi. Kurasa
sebelum pulang tadi aku terlalu banyak minum.
Lalu tiba-tiba saja Levin Limark berdiri di
pintu kamar mandi yang lupa kukunci. Ia terkejut melihatku seperti aku yang
terkejut melihatnya. Aku tak sempat mengambil apa-apa untuk menutupi bagian
tubuhku ketika Levin Limark dengan terbata-bata dan tatapan amat jijik berkata:
“Kau, Jamelia, kau-“
Kemudian yang terjadi adalah sesuatu yang
tak bisa kukendalikan. Aku terkejut, takut, dan panik. Segera kuraih kepala
Levin Limark dengan kedua tangan dan kuhantamkan ke pinggiran wastafel
berkali-kali hingga ia pingsan dan terjatuh di lantai kamar mandi.
Di bawah cahaya lampu, sebuah rahasia telah
terkuak bagi Levin Limark. Namun ia tak perlu mengingat rahasia itu. Aku tak
ingin ia melihat dan mengingatku sebagai sesuatu yang sama dengannya, seorang
laki-laki. Aku ingin ia mengingatku sebagai Jamelia, Nona Cantik yang ia kagumi
di antara tipu muslihat cahaya kota dan orang-orang suci Jakarta, bukan Jamil; seorang
laki-laki yang sedang rindu kembali pada kegelapan di kedalaman rahim ibunda.
***
Komentar
keren !
Kejutan banget.
Keren bang, sampe reflek lempar hp gw nya :)))))
Saya suka dengan blog kamu yang penuh dengan cerita-cerita seru. Sebagai sesama lelaki, saya merasa bangga.
Salam romantis,
@wignyaharsono
www.wignyaharsono.blogspot.com
sodoman . . .
ngeri amad kk, pengalaman pribadi neh? :))))
Saya jadi semangat menulis cerita pendek bang Beben *mohon bimbingannya
gak terduga sama sekali bang. Bikin kaget.
Mungkin juga bisa disamarkan dengan Levin & Jamila selalu bercinta dengan cara Blowjob. Semacam Jamila menolak kalo levin minta lebih dari BJ. Levin gemas, tapi Levin juga selalu puas dengan BJ-an si Jamila. Terus, karena di sini pake sudut pandang Jamila, lo bisa "nipu" pembaca dengan bikin Jamila berpikir seolah-olah "aku sengaja untuk tidak dulu memberikan segalanya kepadanya". Dengan begitu, mungkin pembaca juga lebih gemas.
Dan karena keteguhan si Levin, endingnya baru deh mereka Coitus tanpa (lagi-lagi) menyebut "dari belakang".. Jadi, pembaca masih clueless banget mau dibawa ke mana cerita ini.
Menurut gue, Untuk pembaca yg belum begitu familiar dengan cerita-cerita sensual, cerita ini endingnya gak bakal ketebak. Buat pecinta stensil, udah bisa ketebak dari pertengahan tulisan.
Sekedar masukan doang, Bar.. Anyway.. Keren.
Enggak ada to be continue kisah si jamila? :D