Hamidah Tak Boleh Keluar Rumah
Ilustrasi oleh Della Yulia Paramita
Hamidah Tak Boleh
Keluar Rumah
Cerpen Bernard
Batubara
Dimuat di Pontianak
Post, 9 Februari 2014
“Tinggallah
di rumah saja, Hamidah, bintang-bintang di langit dan rembulan purnama tak
menginginkanmu keluar rumah, mereka cemburu dengan parasmu yang eloknya mengalahkan
kesempurnaan pesona dewi-dewi nirwana. Jika kau keluar juga, kau akan meletakkan
hidupmu dalam bahaya.”
Begitu bunyi pesan suami Hamidah
kepada istrinya yang kudengar dari cerita seorang lelaki tua pada suatu malam
di warung kopiku. Lelaki itu datang dan dengan serta-merta berkata kepadaku,
“Maukah kau dengar sebuah kisah, tentang seorang perempuan yang kecantikannya begitu
berbahaya hingga bisa mengacaukan seisi alam raya dan memporak-porandakan
semesta?”
Karena kukira lelaki tua itu
berlebih-lebihan dan aku yakin tak ada perempuan semacam itu, maka aku pun tak
menghiraukannya. Aku terus saja melayani pelanggan yang lain dan mengerjakan
hal-hal yang harus kukerjakan. Sekali lagi lelaki asing itu berkata kepadaku, “Kuberi
tahu kau tentang kisah ini, agar kau tak menjadi lelaki berikutnya yang menjadi
korban kecantikan perempuan itu.”
Aku merasa lelaki itu takkan berhenti
mengganggu pekerjaanku sebelum aku menuruti kemauannya. Maka, setelah aku
selesai membuat kopi untuk beberapa pelanggan, aku persilahkan ia bercerita
tentang kisahnya. Pada saat itu pukul sebelas di malam hari. Warung kopiku
tutup pukul duabelas. Dan selama satu jam, aku mendengar sebuah kisah yang
membuatku tak berani pulang ke rumah, bahkan tak berani untuk bertemu lagi
dengan istriku.
Beginilah kisah tentang Hamidah yang
diceritakan oleh lelaki itu:
Pada suatu malam, tampaklah cahaya
kunang-kunang mengambang di udara di halaman rumah Hamidah yang sederhana. Anak
perawan seorang haji itu senang melihat kunang-kunang. Padahal, seperti yang
telah diketahui orang banyak, kunang-kunang adalah jelmaan potongan kuku para
manusia yang telah mati. Tetapi, tampaknya Hamidah sama sekali tidak takut
dengan hal ini.
“Ayah, banyak sekali
kunang-kunangnya.”
“Masuklah, Hamidah! Ini sudah larut.”
Suara seorang lelaki terdengar dari dalam rumah.
“Iya, sebentar Ayah. Midah ingin
lihat kunang-kunang dulu. Mungkin saja Midah akan bertemu dengan ibu.”
Ayah si perawan keluar dari rumah
dan menatap anaknya dengan pandangan seseorang yang begitu khawatir. Istrinya
telah meninggal saat melahirkan Hamidah. Tampaknya perempuan itu sedang dilanda
rindu kepada sang ibu.
“Masuk, Hamidah. Angin malam tak
bagus untuk kesehatanmu.”
“Ayah.”
“Ya.”
“Aku selalu mengira-ngira. Bagaimanakah
rupa ibu?”
“Ibumu cantik, Hamidah.”
“Ah, ya…” Si anak perawan menundukkan
kepalanya. Lemas. “Pastilah ibu cantik sekali. Tak sepertiku. Buruk rupa. Aku
kasihan kepadamu, Ayah, harus memelihara dan membesarkan gadis buruk rupa dan
menyusahkan sepertiku ini.”
Sang Ayah mendekati anaknya dan
merengkuhnya dengan penuh kasih. Dia pun tidak tahu apakah mungkin ada
pantangan yang telah dilanggar oleh istrinya atau dirinya sendiri, sehingga
Hamidah lahir dengan wajah yang tak sempurna. Sebelah mata Hamidah bengkak
seperti usai dihantam kayu hingga membuat kelopaknya membiru dan cembung sekali,
bibirnya miring, keningnya terlalu menonjol, alisnya tak tumbuh, dan kakinya yang
kiri lebih besar dari yang lain.
“Mengapa aku terlahir buruk rupa,
Ayah?”
“Tak perlu cantik untuk hidup dengan
baik, Hamidah.”
“Tetapi ibu cantik, kan?”
“Tak ada yang mengalahkan
pesonanya.”
“Aku ingin jadi seperti ibu.”
“Kau sudah memiliki pesona seperti
ibu, Hamidah, meski apapun yang terjadi padamu.”
Hamidah memeluk ayahnya dengan
sedih. Di dalam kegelapan malam, kunang-kunang terbang mengitari mereka. Ayah
Hamidah melepaskan pelukannya, tersenyum kepada anaknya, kemudian melangkah
masuk ke dalam rumah. Hamidah membalikkan badan dan menatap ke langit. Berharap
untuk sekelebatan saja bisa menyaksikan kecantikan ibunya. “Ibu, ibu… Maafkan
aku, anakmu yang buruk rupa ini. Kau harus menyambut kematian untuk memberiku
kehidupan.”
Begitu sedihnya Hamidah dengan
keadaan dirinya dan rasa rindu yang teramat besar kepada sang ibu, ia pun
menitikkan airmata. Seketika, seekor kunang-kunang terbang perlahan
mendekatinya. Seekor saja, dari banyak yang sedang mengambang di udara.
Kunang-kunang itu melayang-layang di depan wajah Hamidah.
Hamidah,
Anakku…
“Ibu?”
Aneh sekali, seekor kunang-kunang
yang nyalanya lebih terang dari yang lain itu bersuara dan berbicara kepadanya seperti
manusia. Hamidah mengerjap-ngerjapkan mata, tak termasuk sebelah yang bengkak
seperti mata hantu itu. Setelah yakin ia tidak sedang bermimpi, maka ia diam
dan menunggu sang kunang-kunang bicara lagi.
Hamidah,
Anakku. Maafkan aku yang telah lalai hingga kau lahir seperti ini.
“Ibu. Tak apa-apa, Ibu. Kata Ayah,
tak perlu cantik untuk hidup baik.”
Ya,
Hamidah. Tapi kau akan kesulitan mendapatkan lelaki.
“Ayah cukup untukku, Ibu. Ayah
lelaki yang baik.”
Hamidah berbohong kepada dirinya
sendiri. Sebetulnya, ia menyimpan hati kepada seorang lelaki. Namun Hamidah tak
bisa berharap banyak, sebab dengan rupa seperti itu, manalah ada lelaki yang
mau menyukainya. Jangankan menyukai, hanya melihat dirinya pun orang-orang
langsung membalikkan badan.
Aku
telah menunggu saat-saat ini, untuk bicara kepadamu Hamidah. Maafkan bahwa aku
terlalu lama. Aku perlu menunggu dua puluh tahun lamanya sampai akhirnya aku
bisa memiliki wujud kunang-kunang. Butuh usaha keras untuk menjadi
kunang-kunang setelah aku mati, Hamidah. Lebih mudah menjadi kecoak atau lipan,
tapi kau pasti tak mau bicara dengan kecoak atau lipan.
“Apa yang ingin Ibu bicarakan
kepadaku? Ah, Ibu, aku rindu kepadamu. Aku ingin melihatmu. Tak bisakah kau
menjadi dirimu saja, Ibu?”
Tak
bisa, Hamidah, anakku. Tapi tenanglah. Sebentar lagi kau tak perlu menderita. Kau
akan mendapatkan lelaki yang kau cinta dan kau akan hidup dengan lebih baik dan
bahagia.
Aku memotong cerita lelaki asing
itu: “Kutebak, Hamidah menjadi cantik seperti ibunya?”
“Ya.” Lelaki tua itu menjawab.
“Tetapi ceritanya bukan tentang hal tersebut. Sungguh bukan. Masalah sebenarnya
baru muncul setelah malam pertemuan perempuan itu dengan kunang-kunang yang
bicara kepadanya.”
Aku membuatkannya segelas kopi lagi.
Jam dinding menunjukkan pukul setengah dua belas malam. “Apa yang terjadi
selanjutnya?”
“Setelah malam itu, Hamidah
terbangun dengan perasaan yang bercampur. Ia melihat wajahnya pada cermin di
dalam kamarnya dan menemukan dirinya tak seperti dirinya lagi. Sebelah matanya
yang bengkak telah menyusut menjadi biasa, selaras dengan matanya yang normal,
bahkan warna matanya menjadi coklat terang dan berbinar seolah sanggup melesatkan
sihir. Bibirnya tampak ranum dan merona seperti jambu air. Keningnya licin dan
berkilau. Alisnya tebal dan anggun. Kakinya jenjang seolah batang bambu muda.
Ayahnya pun terkejut saat melihat sang anak menjadi cantik sekali serupa dengan
istrinya yang telah meninggal.”
Sekarang aku membayangkan bagaimana
seandainya istriku menjadi seperti Hamidah. Walaupun istriku memang sudah
cantik. Ah, istriku…
“Dalam semalam, Hamidah yang buruk
rupa telah menjadi seorang dewi. Banyak lelaki datang ke rumah ayahnya untuk
meminang perempuan berparas elok dan bercahaya itu. Hingga pada suatu hari,
datanglah seorang lelaki yang menjadi dambaan Hamidah. Mereka pun menikah.”
“Sudah? Cerita berakhir dengan
bahagia? Ah, seperti roman-roman pasaran.”
“Belum.”
Lelaki tua itu tampak semakin serius
dengan ceritanya. Aku mendengarkan lagi.
Setelah mereka menikah, lanjutnya, Hamidah
dilarang oleh suaminya untuk keluar rumah. Hamidah mengadu kepada ayahnya,
namun menurut sang ayah ia harus patuh kepada perintah suami. Kata sang suami: “Tinggallah
di rumah saja, Hamidah, bintang-bintang di langit dan rembulan purnama tak
menginginkanmu keluar rumah, mereka cemburu dengan parasmu yang eloknya
mengalahkan kesempurnaan pesona dewi-dewi nirwana.*) Jika kau keluar juga, kau
akan meletakkan hidupmu dalam bahaya!”
Bukan bintang-bintang di langit dan
rembulan purnama yang cemburu kepada kecantikan tiada tara milik Hamidah, tetapi
suaminya sendiri lah yang enggan jikalau paras dan lekuk menggiurkan tubuh istrinya
itu dinikmati oleh lelaki selain dirinya. Maka ia mengurung Hamidah di dalam
rumah. Dan atas nasehat sang ayah, dengan berat hati Hamidah mematuhi suaminya.
Namun, ketika Hamidah semakin
bersedih sebab ia tak bisa keluar rumah dan merasa sangat kesepian, ia merasa rindu
ingin bertemu sang ibu. Maka, pada suatu malam ketika sang suami tengah
terlelap dalam tidurnya, Hamidah berjingkat-jingkat keluar rumah dan berdiri
terpaku di halaman, menunggu kedatangan seekor kunang-kunang yang sinarnya
paling terang.
Mengapa
tampak bersedih dirimu, Hamidah, anakku?
“Aku tak ingin menjadi cantik, Ibu.”
Setelah bercakap-cakap satu jam
lamanya dalam hening dan kegelapan, kunang-kunang itu melayang pergi. Hamidah
masuk ke dalam rumah dan tidur di sebelah suaminya. Lalu, keesokan paginya…
***
Pukul satu dini hari. Aku lelah namun
tak juga bisa tertidur. Kepalaku berputar memikirkan cerita lelaki asing itu.
Istriku berbaring di sebelahku.
“Suaminya
telah mati. Hamidah membunuhnya setelah berhari-hari lelaki yang sempat ia
cintai itu selalu pulang membawa perempuan lain sebab istrinya telah kehilangan
kecantikannya. Sebelum anakku pergi, ia menceritakan semuanya kepadaku. Aku
menceritakan ini kepadamu agar kau berhati-hati menjaga istrimu. Istrimu
cantik? Dari keterburu-buruanmu menyelesaikan pekerjaan dan pulang tepat waktu,
aku yakin istrimu cantik. Jangan biarkan ia keluar rumah. Seperti apa wajah
istrimu? Apakah seperti ini? Ini foto anakku, Hamidah, dan semenjak ia membunuh
suaminya ia tak pernah kembali ke rumah.”
Pada saat itu aku terkejut
mengetahui betapa miripnya wajah perempuan dalam gambar yang diserahkan lelaki
asing itu dengan istriku, istriku sendiri.
Aku memiringkan badan, memunggungi
istriku. Tak berapa lama, kudengar derit kasur dan langkah-langkah pelan dan
pintu yang membuka…
Jangan,
sayang, jangan keluar rumah… ***
*) terinspirasi oleh tweet M Aan Mansyur di akunnya
@hurufkecil (04/11/2013): “please stay at
home. don't go anywhere. the sky, even after the rain, is so much jealous with
your eyes.”
- Silakan unduh versi pdf cerpen ini di sini (gratis): Hamidah Tak Boleh Keluar Rumah
Komentar
kenapa cerpen ini terbitnyalebih duluan di blog dari pada di koran pontianak post yang memuatnya ? emang pihak redaksi ga mempermasalahkan yah naskahnya di posting duluan di blog atau dimanapun sebelum naskah itu bener2 sudah terbit di koran ? terimakasih, mohon di jawab aku masih belum paham tentang aturan masalah kepenulisan.