Meriam Beranak
Ilustrasi oleh Ida Bagus Gede Wiraga
Meriam Beranak
Cerpen Bernard Batubara
Dimuat di Jurnal Nasional, 26 Januari 2014
Sebelum menjadi sebatang meriam, dahulu
ia adalah seorang perempuan. Setiap sore, seperti perempuan-perempuan lain yang
tinggal dan hidup di tepian Sungai Kapuas, ia membasuh tubuhnya dengan air
sungai terpanjang di negerinya itu. Dengan khusyuk ia bersihkan sudut demi
sudut lekuk tubuhnya. Para lelaki yang telah beristri mengintip dari balik
pintu dan jendela rumah mereka. Seraya menikmati siraman air dan cahaya senja
dari Barat langit, ia mandikan pula anak lelakinya yang sematawayang. Janda
beranak pengacau rumah tangga orang, kata para istri lelaki-lelaki yang
mengintip dirinya. Kembang harum beranak satu, kata para suami penuh berahi
itu.
“Bapak mana, Mak?”
Begitulah anak lelaki sematawayangnya
itu bertanya saban langit telah gelap dan dikerubungi bintang-bintang. Maka
dadanya pun terasa ada yang menghantam dan jantungnya tak ayal seperti
berlubang. Setelah itu ia akan tersenyum dan menidurkan si bocah dengan
menyanyikan senandung aek kapuas yang
telah dipelankan ketukan nadanya. Ia bernyanyi dalam hati saja:
Eee…
sampan laju, sampan laju dari hilir hingge ke hulu
Sungai
Kapuas, sungguh panjang dari dolok membelah kote
Ketika telah terlelap si anak, ia
akan berjalan keluar dari rumahnya yang teramat sederhana dan bersimpuh di atas
papan di pinggir sungai tempat ia biasa mandi dan mencuci. Ia akan
menengadahkan tangan kemudian berbicara tanpa suara, dan kepalanya menghadap
langit penuh rekata seperti ia sedang berdoa. Dan memang ia sedang berdoa.
Tuhanku
penguasa langit, jika suamiku tak kembali dalam tiga kali purnama, maka
jadikanlah aku sebatang meriam. Agar aku tak mengusik para perempuan dan lelaki
di tempat ini. Agar anakku tak bertanya di mana bapaknya lagi.
Hanya bibirnya yang bergerak namun
tak lahir suaranya. Sejak keluar dari rahim ibunya memang ia ditakdirkan untuk bicara
lewat tubuh dan mata saja. Perempuan bisu terkutuk, kata para istri. Perempuan
bisu bak dewi, kata para suami.
Maka demikian lah perempuan itu
terus berdoa dan berdoa agar tubuhnya yang indah dan dipuja-puja menjelma saja
menjadi sebatang meriam. Supaya hilang lekuk pinggangnya, supaya raib lengkung
pinggulnya, supaya lenyap mulus punggungnya.
Satu purnama telah terlewati. Suami
perempuan itu tak pulang juga. Setiap senja jatuh di atas Sungai Kapuas, ia
bersihkan tubuhnya dengan air sungai. Ia mandikan pula anak lelaki sematawayangnya
yang ia tak tahu mirip siapa wajah anak ini sebetulnya. Tetapi ia rawat dan ia
beri makan juga dengan kasih sayang.
Ia, perempuan yang menimbulkan
gunjingan itu, tak pernah lupa dan luput merawat tubuh indahnya. Jikalau
suaminya pulang pada suatu malam, maka ia telah siap untuk menyambut dan
melayani lelaki tersebut. Ia harus selalu molek dan bersolek untuk lelaki
terkasihnya. Tapi yang ia dapat setiap hari hanya tatapan para lelaki lain yang
tak ia inginkan.
“Bapak mana, Mak?”
“Tak lama lagi bapakmu akan pulang,
Nak.”
Eee…
tak disangke, tak disangke dolok hutan menjadi kote
Setelah menidurkan bocah lelakinya,
perempuan itu keluar dari rumah dan kembali bersimpuh di pinggir sungai. Pada
langit yang hitam terhamparlah rekata. Dan ia lihat bulan belum purnama. Baru
separuh menjadi tubuhnya yang bercahaya. Ia menengadahkan tangan dan berdoa:
Tuhanku
penguasa langit, jika suamiku tak kembali dalam dua kali purnama, maka
jadikanlah aku sebatang meriam. Agar aku tak mengusik para perempuan dan lelaki
di tempat ini. Agar anakku tak bertanya di mana bapaknya lagi.
Perempuan itu sesungguhnya tak
betapa cantik. Hanya saja setiap para lelaki melihat kepadanya, seolah mata
perempuan itu yang sayu dan tubuhnya yang ramping bisa berbicara dan merayu
kepada mereka. Padahal perempuan itu tak pernah merayu siapa-siapa. Bagaimana
ia hendak merayu, bicara pun ia tak bisa. Ah, mungkin, jangan-jangan,
kebisuannya lah yang membuat suami-suami itu gemar kepadanya.
Sebab ia tak bisa bicara. Sebab ia
tak bisa mengungkapkan hal-hal yang sebenarnya.
Purnama kedua telah terbentuk
sempurna di atas sana. Perempuan janda beranak satu itu tengah bersenandung sendirian
di atas papan di pinggir sungai tempat ia biasa mandi. Tentu saja senandungnya
hanya terlantun di dalam dada. Menyatu bersama kesunyian gelombang kecil Sungai
Kapuas dan kepak sayap burung-burung di udara.
Setelah terdiam barang sejenak,
barulah terpikirkan olehnya tentang anak sematawayangnya itu. Apabila kelak
telah tembus tiga purnama dan suaminya tak kembali juga, dan ia menjelma
menjadi sebatang meriam, apakah yang akan terjadi pada anaknya, buah rahimnya?
Siapa yang akan merawat dia? Siapa yang akan memandikannya di sungai? Siapa
yang akan menyanyikan lantunan aek kapuas
di telinganya setiap malam? Siapa yang menemani dia tidur?
Perempuan itu cemas. Matanya yang
memang sayu kian sayu memikirkan nasib anaknya yang hanya satu. Tapi apa lagi
yang bisa ia perbuat. Ia tak mampu menunggu kepulangan suaminya lebih lama
lagi. Ia ingin segera meninggalkan kehidupan yang penuh derita ini dan,
terlebih-lebih, ia ingin bisa bersuara. Bersuara senyaring-nyaringnya, selantang-lantangnya.
Sebab itu ia memohon kepada Tuhan agar ia dimatikan saja dan dilahirkan kembali
sebagai sebuah meriam.
Sebab ia ingin mengungkapkan semua
hal yang selama ini hanya ia pendam.
Pada senjakala tepat sebulan
berikutnya, perempuan itu meringkuk di dalam sebuah gubuk. Sekelilingnya gelap
seperti langit malam hari tempat ia biasa menengadahkan tangan untuk berdoa. Tubuhnya
terasa dingin dan ia terisak. Malam ini akan tiba purnama ketiga. Purnama
terakhir yang menjadi penanda bahwa ia takkan lagi menunggu kepulangan
suaminya. Ia bangkit dan berusaha untuk berjalan. Namun kakinya lemah dan ia
goyah.
Ia terjatuh.
“Ahai, mantap sekali perempuan bisu
satu ni.”
“Apa kubilang. Tak rugi kau coba,
ha!”
“Biar beranak masih sempit
liangnya!”
Sambil meringis menahan rasa sakit,
perempuan itu berjalan pulang ke rumah dan menemui anak lelakinya tengah
tertidur pulas. Sudah bisa tidur pula anak ini tanpa nyanyianku yang hanya
dalam hati, batinnya. Ia paksakan senyum sekadar untuk menghindarkan pikirannya
dari perih di antara kedua paha. Malam ini purnama ketiga, ia akan bersimpuh di
pinggir sungai dan berdoa.
Tetapi kemudian anaknya bergumam
seperti mengigau.
“Mak, Bapak mana, Mak?”
Ia hanya melihat anaknya, kemudian
berjalan lagi ke pinggir sungai dan duduklah ia di atas papan tempat ia biasa
mandi. Di langit, bulan telah penuh dan bintang-bintang bersinar alangkah
terang.
Tuhanku
penguasa langit, jika memang aku ditakdirkan tak bersuami, maka jadikanlah aku
sebatang meriam. Agar aku tak menanggung luka dan kesakitan ini. Agar anakku
tak bertanya di mana bapaknya lagi.
Malam berikutnya, perempuan itu
telah berubah menjadi sebatang meriam. Meriam paling besar yang pernah ada di
seluruh penjuru negeri. Setiap malam, tanpa ada yang menyalakan, meriam itu
meledak dengan sendirinya dan menggetarkan dan memecahkan jendela-jendela. Meriam
itu terpancang di pinggir Sungai Kapuas, beserta sebuah meriam yang lebih kecil
di sisinya.
Dalam setiap ledakannya, meriam itu menyampaikan
kata-kata, yang tak pernah didengar para manusia:
“Sesungguhnya, Nak, Anakku, aku tak
tahu siapa bapakmu. Bapakmu salah satu dari lelaki-lelaki yang melihatku mandi
setiap hari. Bapakmu satu dari jutaan rekata yang telah mati. Dan kau, Anakku,
adalah purnama tempat aku menengadah dan bersenandung menyampaikan doa-doa.” ***
- Silakan unduh versi pdf cerpen ini di sini (gratis): Meriam Beranak
Komentar