Catatan Akhir Tahun 2014
Tak ada yang lebih relatif di dunia ini selain
waktu. Atau Waktu. Saya suka membayangkan kata Waktu dengan huruf besar. Bukan
karena apa-apa, melainkan karena saya merasa Waktu adalah zat paling ajaib yang
pernah diciptakan. Ia tidak bisa dihitung, dipotong, dilihat, dimusnahkan.
Mungkin bisa dijebak dengan tulisan, kamera, atau rekaman video, namun tetap
saja Waktu adalah Waktu yang tidak bisa dipegang, dirasakan, ataupun diukur.
Berapa lama waktu yang telah saya lalui sejak
awal tahun 2014 hingga akhir tahun 2014? Jika menggunakan perhitungan manusia,
tentu saja jawabannya adalah: satu tahun. Tapi kenapa saya merasa 1 Januari
2014 seperti baru kemarin? Saya merasa saya tidak sedang atau telah melewati
satu tahun, melainkan hanya satu hari. Saya merasa waktu telah berlari. Teramat
kencang. Perasaan baru kemarin saya mengucapkan Selamat tahun baru! kepada diri sendiri, eh tahu-tahu sekarang
sudah bersiap-siap mengucapkan kalimat yang sama lagi. Waktu berlari, melesat,
sampai-sampai saya lupa, apa saja yang telah saya alami sepanjang tahun ini.
Saya ingin mengingat:
Januari 2014.
Di bulan pertama 2014, saya telah mengambil keputusan
besar. Dua keputusan besar sekaligus. Menjadi karyawan dan pindah ke Jakarta. Orang-orang
yang mengenal saya tahu bahwa saya bukan tipe yang senang jadi karyawan,
bekerja di bawah perintah orang lain, masuk ke dalam struktur, diikat oleh
kontrak dan aturan-aturan, juga punya jam kantor. Memang ayah dan ibu saya
sempat menginginkan saya untuk jadi polisi dan pegawai negeri, tapi toh itu
tidak terjadi dan pada saat yang sama saya menyadari bahwa saya lebih senang
hidup bebas, punya pemasukan tanpa harus bekerja secara rutin pukul sembilan
hingga lima sore. Namun, akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari zona nyaman
saya, didorong rasa penasaran, ketertarikan terhadap pekerjaan yang ditawarkan,
dan dukungan dari orang terdekat.
Saya memutuskan untuk menjadi karyawan. Menjadi
editor di sebuah perusahaan penerbitan. Di Jakarta. Kota yang paling saya
hindari. Kota terakhir yang akan saya pilih sebagai tempat tinggal jika saya
tidak bisa bermukim di luar negeri. Seorang penulis, teman mengobrol, juga editor
berinisial W yang menawari saya kesempatan baik itu. Dia menghubungi saya
setelah mungkin dulu sempat mendengar celetukan saya bahwa saya ingin jadi
editor. Saya menerima ajakan W karena dijanjikan untuk bekerja di Jogja, tempat
saya tinggal sekarang. Jadi, cukup merasa aman karena tidak perlu tinggal
seterusnya di Jakarta. Tapi toh tetap saja, saya musti magang selama
kurang-lebih tiga bulan di kantor pusat di Jakarta, dan itu artinya saya harus
tinggal di kota yang kata Dewi Lestari ‘penuh dualisme’ itu.
Februari 2014.
Bulan kedua saya memperoleh pengalaman pertama
jalan-jalan ke luar negeri. Jangan tertawai saya, ya, karena saya akan terlihat
norak di bagian ini. Tidak jauh-jauh perjalanan itu sebetulnya, cuma ke
Singapura. Tapi saya tetap merasa girang karena saya belum pernah naik
penerbangan internasional sebelumnya. He, he, he. Kami berempat waktu itu. Saya
dan tiga orang yang memang pejalan. Saya sendiri bukan. Kami mendapat sponsor
dari sebuah agency yang bekerjasama
dengan badan pariwisata Singapura. Kami diongkosi untuk jalan-jalan ke
tempat-tempat hiburan di sana. Tugas kami hanya mengunggah tweet, agar teman-teman di dunia maya mengetahui tentang
tempat-tempat itu. Kapan pariwisata Indonesia bikin seperti yang beginian, ya?
Maret 2014.
Saya memasuki proses final penggarapan buku
keenam, sebuah novel berjudul Surat untuk Ruth, yang manuskripnya
sudah saya selesaikan Juni 2013. Novel yang mengambil latar Bali, Malang, dan
Surabaya ini adalah novel paling tipis yang pernah saya tulis. Bercerita tentang
cinta dan kehilangan, tema yang memang kerap saya garap, karena kemampuannya
untuk menyentuh banyak orang. Di bulan Maret kami menyelesaikan semua yang
harus diselesaikan: penyuntingan akhir, desain sampul, tata letak, dan rencana
terbit. Pada bulan ini juga, saya selesai magang di Jakarta dan memulai profesi
baru sebagai editor yang bekerja di Jogja.
April 2014.
Buku keenam saya terbit. Surat untuk Ruth. Kami meluncurkannya di Jakarta pada sebuah acara
bazar dan festival buku. Yang datang cukup ramai. Saya senang sekaligus cemas
pada saat itu, karena untuk pertama kalinya saya menulis dan menerbitkan novel
yang memiliki nuansa berbeda dengan novel-novel roman populer saya sebelumnya, Cinta dengan Titik dan Kata Hati. Novel Surat untuk Ruth memiliki ambience
yang lebih gloomy, pelan, dan isu
yang juga meningkat usianya, yakni menjelang pernikahan. Saya sempat tidak
yakin saat itu apakah buku tersebut bakal diterima dengan baik. Namun, alhamdulillah, ternyata Surat untuk Ruth tetap mendapat sambutan
hangat oleh teman-teman pembaca.
Mei 2014.
Tur Surat
untuk Ruth. Saya dan tim penerbit mendatangi beberapa kota di Indonesia. Di
antaranya Jakarta, Depok, Bekasi, dan Surabaya. Saya menemui pembaca di
kota-kota itu untuk memperkenalkan Surat
untuk Ruth. Bertemu langsung dengan pembaca adalah pengalaman yang selalu
menyenangkan, dan tidak pernah gagal membuat saya tersenyum dan bersyukur. Memang,
saya lebih sering menulis untuk kepuasan diri sendiri, namun antusiasme dan komentar
pembaca lah yang acapkali memberi energi tersendiri bagi saya, yang membuat
saya terus menulis dengan semangat ingin berkembang lebih baik lagi.
Juni 2014.
Saya menyelesaikan naskah novel baru, sebuah
roman berlatarkan kota kelahiran saya, Pontianak. Manuskrip tersebut berjudul
nama tokoh-tokoh utamanya, Sarif & Nur. Manuskrip novel itu
saya tulis setelah mendapat ajakan dari editor saya untuk bergabung dalam
sebuah proyek novel konseptual bersama lima penulis lain. Tema proyek novel itu
adalah ‘siklus hubungan cinta’, mulai dari pertemuan dengan orang asing,
keragu-raguan akan cinta, berpacaran, putus, move on, hingga mendapatkan pasangan menikah. Saya kebagian di
tahap berpacaran. Sarif & Nur berkisah
tentang pemuda dan gadis Pontianak yang memiliki impiannya masing-masing,
saling jatuh cinta karena alasan masing-masing, dan tergoncang pula hubungan
mereka oleh alasan masing-masing. Saya menyisipkan satu-dua isu politik dan
lingkungan dalam manuskrip ini, tentu saja dengan porsi yang terbilang kecil,
karena saya tidak sedang bertendensi ingin menulis novel politik atau
lingkungan. Manuskrip Sarif & Nur hingga
saat ini masih dipelajari oleh editor. Rencananya
akan diterbitkan pada bulan-bulan awal tahun depan, 2015.
Juli 2014.
Setiap tahun, bulan Juli adalah bulan
istirahat. Saya mengingat hari lahir pada bulan ini. Sekaligus mengingat apa
saja yang sudah saya lakukan sepanjang hidup saya. Melakukan refleksi dan
evaluasi. Saya mengingat-ingat lagi, apa yang saya inginkan? Apa yang hendak
saya capai? Apa yang sudah saya lakukan untuk hal itu? Apa yang saya tuju? Apa
yang tidak pernah saya sentuh, kurang banyak saya lakukan, atau yang terlewat
oleh penghilatan saya? Juli adalah waktu untuk memutar balik, melihat ke
belakang, demi memberi perhatian lebih pada masa kini, dan merancang rencana
yang lebih baik untuk diri sendiri di masa depan. Saya mendapat hadiah dari seorang
yang spesial di hari ulang tahun saya. Kian spesial karena saya juga mendapat
presiden baru. Dua peristiwa besar sekaligus terjadi di bulan ini: Piala Dunia
dan Pemilihan Presiden. Sayangnya, tim sepakbola jagoan saya tidak menang, dan saya
tidak ikut mencoblos presiden.
Agustus 2014.
Saya lebih banyak belanja buku di bulan ini.
Ingin sekali saya bilang ‘Saya lebih banyak membaca’, namun kenyataannya tidak
demikian. Kegilaan saya membeli buku mulai kumat lagi, untungnya tidak separah dahulu.
Jauh lebih terkontrol. Tapi tetap saja, saya membeli lebih banyak dari yang
bisa saya baca. Tumpukan buku di rak buku dan lemari pakaian semakin tinggi,
sementara kemampuan dan fokus membaca saya tidak juga membaik. Yah, tidak
apa-apa, saya toh tidak mendeklarasikan diri sebagai pembaca, melainkan
penumpuk buku, book hoarder. He, he,
he.
September 2014.
Bersentuhan lagi dengan puisi, meski tidak
sangat intens. Hanya percikan gairah yang muncul kembali setelah sekian lama
mati suri. Saya sedang dan masih tertarik untuk membaca dan menulis cerita
pendek atau novel, ketimbang puisi. Persentuhan dengan puisi itu terjadi
setelah pada suatu hari saya dihubungi oleh seorang penyair asal Jogja yang
saya kagumi berinisial GM. Ia mengajak saya untuk berpartisipasi di sebuah
festival pembacaan puisi. Saya diminta untuk mengirim beberapa puisi, dan jika
dianggap layak, maka saya akan diundang untuk membaca puisi di acara tersebut. Saya
membaca puisi di acara tersebut bersama kalau tidak salah sepuluh penyair muda
lain (atau lebih, saya agak-agak lupa). Puisi-puisi terbaru yang saya bacakan
itu diterbitkan dalam sebuah kumpulan puisi bersama dengan judul Puisi-Puisi
di Jantung Tamansari. Buku
puisi tersebut dicetak sangat terbatas dan hanya disebar di acara festival itu.
Oktober 2014.
Saya mulai menulis naskah novel baru. Judul
sementaranya: Eros. Hingga saat ini, saya baru menyelesaikan bab pertama. Tampaknya
perjalanan manuskrip ini akan perlahan. Saya tidak ingin tergesa-gesa. Namun, saya
tetap memasang target. Terlebih karena editor saya sudah bertanya apa yang
ingin saya kerjakan tahun depan. Saya menceritakan sedikit tentang Eros. Dari sana saya mendapat dorongan
untuk memasang target. Saya ingin manuskrip Eros
kelar tahun depan. Terbitnya? Saya belum tahu. Dari gelagatnya, editor saya
ingin Eros terbit tahun depan bersama
Sarif & Nur. Saya sendiri masih
belum pasti dan yakin dengan rencana itu. Semoga saja kapanpun
manuskrip-manuskrip tersebut terbit, mereka terbit dengan kondisi terbaik.
Di bulan ini pula, saya menjual hak adaptasi novel Surat
untuk Ruth ke sebuah production house. Screenplay Production, nama
production house itu. Seorang penulis
skenario berinisial VH yang juga menjadi perwakilan Screenplay Production, menghubungi saya dan menyampaikan minatnya
untuk mengadaptasi Surat untuk Ruth ke
layar lebar. Kami bertemu di Jogja dan berbincang-bincang tentang konsep
kreatif yang kami inginkan untuk film Surat
untuk Ruth. Saya menemukan kesamaan visi dengan VH, dan itulah yang
akhirnya membuat saya setuju menjual hak adaptasi Surat untuk Ruth. Saat ini, prosesnya masih berlangsung di VH dan Screenplay Productions. Mungkin sinopsis
sedang ditulis atau novel masih dibaca ulang dan dipelajari, saya tidak tahu
dan belum bertanya. Kapan tayangnya?
Pula, saya belum tahu dan tidak bisa memastikan. Mungkin tahun 2015, bisa jadi
juga tahun 2016. Semoga saja proses lebih lanjut segera berjalan dan kelak
filmnya akan tayang dengan mutu yang baik.
November 2014.
Saya mengirim manuskrip baru ke penerbit,
sebuah kumpulan cerita berjudul Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh
Diri. Manuskrip ini saya buat dengan mengumpulkan cerita-cerita pendek
yang saya tulis dalam rentang tahun 2013-2014, cerita-cerita yang belum pernah
terpublikasikan dalam wujud buku. Beberapa di antaranya sudah sempat muncul di
media massa dan blog pribadi saya. Sebagian yang lain cerita-cerita baru dan
belum pernah muncul di mana pun. Secara mengejutkan, respons penerbit sangat
gesit untuk manuskrip ini. Saya sendiri cukup kaget, mengingat agak sulit
menembusi penerbit menggunakan naskah kumpulan cerita. Saya tidak tahu
pertimbangan penerbit apa, tapi bukankah ini hal yang menggembirakan dan patut
saya syukuri? Saya senang akan memiliki kumpulan cerita lagi setelah Milana yang terbit tahun 2013. Kebetulan,
pada bulan ini saya juga sedang asyik membaca cerita-cerita pendek dari
pengarang-pengarang muda dalam negeri dan pengarang-pengarang kontemporer luar
negeri.
Sedikit bocoran yang mungkin tidak perlu-perlu
amat diketahui: Buku Jatuh Cinta Adalah
Cara Terbaik untuk Bunuh Diri diminta oleh seorang panitia seleksi karya
sastra terbaik versi majalah Tempo untuk dinilai. Saya sudah meminta penerbit
mengirim buku itu dan panitia sudah menerima. Tentu saja pergulatan buku itu
akan sangat keras, karena saingannya adalah buku-buku lain yang saya yakin,
punya kualitas lebih oke dari milik saya. Bukan bersikap inferior atau apa,
tapi saya sadar akan mutu tulisan saya yang masih perlu banyak dipoles dan
dikembangkan. Namun, saya tetap bersyukur, buku ini diingat, dilihat, dan
sempat dibaca oleh tim panitia tersebut, yang saya pikir bukan terdiri dari
orang-orang sembarangan.
Desember 2014.
Buku ketujuh saya terbit. Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Satu hal paling
menggembirakan atas terbitnya buku ini adalah, tidak ada perubahan judul dari
penerbit. Usul saya untuk menggunakan judul yang panjang itu ternyata
disetujui. Saya juga terlibat langsung menggarap desain sampulnya, bersama tim
desainer penerbit. Juga ilustrasi isinya, yang saya pesan kepada seorang teman
asal Bali. Saya banyak bersyukur atas terbitnya buku ini. Karena sejauh ini, Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh
Diri adalah buku yang paling mendekati keinginan saya. Saya ingin menulis
buku kumpulan cerita seperti ini, dan saya sangat gembira buku ini dapat
terbit.
Begitulah, hal-hal yang dapat saya ingat yang
terjadi sepanjang tahun ini. Di akhir tahun lalu, penghujung 2013, saya telah
memutuskan untuk tidak membuat resolusi apa-apa. Berhenti berencana, mulai melakukan, kata saya di akhir catatan
penghujung tahun itu. Dan, saya melakukannya. Tahun ini, saya tidak banyak
berencana, dan lebih banyak melakukan apa saja yang ingin saya lakukan. Saya
ingin membeli buku, maka saya membeli buku. Saya ingin membaca, maka saya
membaca. Saya ingin menulis ini-itu, maka saya menulis ini-itu. Setelah
dikumpul-kumpulkan sekarang, ternyata tidak membuat rencana apa-apa membantu
saya untuk berbuat lebih banyak. Saya tidak terbebani dan cemas karena to-do list yang panjang dan belum juga
mendapat ceklis. Saya lebih bebas, dan karenanya saya melakukan lebih banyak.
Maaf jika judul catatan ini tidak memberi
pengaruh dan keterkaitan besar terhadap isinya. Saya hanya ingin membuat
pembuka yang menarik, tapi tentu saja tidak ada yang bisa saya lakukan jika
usaha saya itu gagal. He, he, he. Yang jelas, selama dua belas bulan terakhir,
saya betul-betul merasa bahwa, sekali lagi, Waktu adalah relatif. Jika saya
memikirkannya, ia terasa lama. Jika saya tidak memikirkannya, ia menjadi
sebentar. Bagaimana cara kerja Waktu sebetulnya? Kenapa bagi seseorang ia
menjadi sempit sehingga orang itu tak dapat berbuat banyak, sementara bagi
seseorang yang lain ia begitu luas dan membuat orang itu mencapai banyak hal?
Ah, Waktu adalah Waktu, mau bagaimanapun saya
memikirkannya. Saya lebih memilih untuk mengisi Waktu, dengan melakukan apa
saja yang ingin saya lakukan.
Tapi, kenapa saya mengisi Waktu? Bukankah ia
tidak kosong?
Ataukah, iya?
Bara
6 komentar:
Surat untuk Ruth naskah di word-nya berapa halaman ya Bang, kalo boleh tau?
abang slalu banyak cerita.
semoga selalu menginspirasi.
pengen ketemu bang baraaaaaaaaa :'
mantaaappp
kata-katanya selalu menginspirasi para pembaca,,
nice
Obat Herbal Insomnia Akut
Obat Herbal Batu Empedu Kronis Tanpa Operasi
Obat Herbal Radang Tenggorokan Paling Ampuh
Obat Herbal Hernia Tanpa Operasi
Obat Herbal Vitiligo Ampuh
Obat Herbal Gagal Ginjal Tanpa Cuci Darah
Obat Herbal Gendang Telinga Pecah
Obat Herbal Leukemia Akut
Obat Herbal Kanker Otak Stadium 3
Obat Herbal Amandel Tanpa Operasi
Obat Herbal Hepatitis B Paling Ampuh
Obat Herbal Kelenjar Tiroid Paling Ampuh
Obat Herbal Kista Mujarab
Obat Herbal Jantung Koroner Paling Ampuh
Obat Herbal Penyakit Chikungunya
Obat Herbal Kanker Prostat Tanpa Operasi
Khasiat Ace Maxs
Obat Herbal Penghancur Batu Ginjal
Obat Herbal Kanker Payudara Tanpa Operasi
Pencegahan Kanker Serviks
Obat Herbal Batuk Kering Dan Berdahak
Obat Herbal Kanker Serviks Stadium 4
Khasiat Jelly Gamat Gold G
Glucogen
Suplemen Pelangsing Badan Alami
membaca ini sambil berpikir, "wah, bang bara hebat. tiap bulan adaaa aja ceritanya." apalagi aku pribadi merasa setiap kalimat yang ada di sini punya motivasinya masing-masing.
berhenti berencana, mulai melakukan.
cuma satu kalimat dengan empat kata, tapi menohok sekali, bang.
apalagi bang bara sempat-sempatnya merendah. tulisan yang masih butuh banyak polesan aja udah sebagus itu, apalagi kalo udah bagus banget, ya?
terima kasih untuk postingan yang menginspirasi ini, bang. semoga tahun depan bisa gabung di gagasmedia juga. aamiin.
viagra asli
obat kuat viagra
jual viagra
Posting Komentar