Saya tidak bisa membayangkan bagaimana
rasanya vakum menerbitkan buku hingga sepuluh tahun lamanya. Beberapa orang
teman dan pembaca sempat mengeluhkan buku-buku saya terbit dalam jarak yang
terlalu dekat. Saya menyadari itu. Tapi apa boleh buat, mungkin saya tidak
memiliki kemampuan untuk menahan diri dari menulis dan menerbitkan tulisan
saya. Sungguh, saya sangat ingin bisa menahan diri untuk menerbitkan tulisan
saya, sehingga (saya berharap) ketika pada akhirnya ia harus lahir, tulisan
tersebut telah matang dan layak untuk dilempar ke khalayak pembaca. Namun, catatan
ini bukan tentang saya. Ini tentang sebuah novel berjudul seperti yang saya
tulis sebagai tajuk catatan ini. Ini tentang sebuah novel pertama yang ditulis oleh
si pengarang setelah sepuluh tahun sejak novel terakhir si pengarang itu terbit.
Novel terakhir si pengarang itu berjudul Cantik itu Luka. Sebenarnya, tidak tepat
sepuluh tahun jaraknya dengan penulisan novelnya yang baru. Pada halaman
terakhir Seperti Dendam, Rindu Harus
Dibayar Tuntas, si pengarang mencantumkan tahun penulisannya, ‘2011-2014’.
Artinya, sebetulnya jaraknya hanya tujuh tahun dengan novel sebelumnya. Tapi
kalau dihitung waktu terbit, maka tepat sepuluh tahun.
Saya tidak tahu mengapa saya memulai catatan
ini dengan membicarakan tentang jarak. Tepatnya adalah jarak karya si
pengarang. Mungkin, untuk alasan yang sampaikan di pembuka catatan ini: saya
tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya vakum menerbitkan buku hingga sepuluh
tahun. Para pembaca yang budiman pasti tahu bagaimana Cantik itu Luka sukses menjadi salah satu buku penting di dunia
kesusastraan Indonesia. Novel tersebut kini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Jepang dengan judul Bi Wa Kizu dan
Malaysia dengan judul Cantik itu Luka. Saya
tidak tahu mana yang lebih akhir dirilis, apakah Cantik itu Luka atau Lelaki
Harimau, tapi mana pun itu saya kira sama saja, jaraknya kurang-lebih
sepuluh tahun dengan Seperti Dendam,
Rindu Harus Dibayar Tuntas.
Dalam rekam jejak kepengarangan si pengarang
sendiri, saya mengira Cantik itu Luka adalah
buku yang menjadi salah satu puncak karirnya sebagai pengarang atau novelis
(walau saya mengira dia pasti menjawab bahwa buku-bukunya yang lain juga
penting, atau buku-bukunya yang lain juga tidak penting sama seperti Cantik itu Luka, saya tidak tahu). Maka,
poin saya adalah, jarak sepuluh tahun antara Cantik itu Luka atau Lelaki
Harimau dengan Seperti Dendam, Rindu
Harus Dibayar Tuntas itu menunjukkan bahwa si pengarang terbebani dengan kesuksesan
Cantik itu Luka. Setidaknya, saya
mengira demikian. Apa lagi yang membuat seorang pengarang mengambil jeda atau
berhenti sangat lama menelurkan buku kalau bukan beban untuk menghasilkan buku
yang lebih bagus dari sebelumnya? Atau mungkin saja, sih, ada alasan-alasan
lain yang hanya diketahui oleh si pengarang. Tapi saya akan memulai catatan ini
dengan alasan tersebut. Terbebani.
Namun, ternyata saya keliru. Setelah selesai
membaca Seperti Dendam, Rindu Harus
Dibayar Tuntas (saya menyelesaikannya dalam dua hari, sebetulnya ingin satu
hari namun pada hari pertama saya baru mulai membaca pada tengah malam dan
sudah sangat mengantuk) saya merasa bahwa si pengarang ternyata sama sekali
tidak terbebani. Atau, mungkin saja, memang pada awalnya dia terbebani, namun
ia berhasil keluar dari kungkungan beban itu. Ia keluar dengan sangat berhasil
dan menampilkan gerakan yang cemerlang.
Bagaimana saya bisa berkata demikian? Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas seolah
ditulis dengan bermain-main. Meski sebetulnya perihal yang diangkat adalah
perihal yang sangat serius. Saya membayangkan si pengarang membuang jauh-jauh
bayang-bayang kesuksesan novelnya yang sebelumnya dan memulai menulis naskah
terbarunya dengan semangat seorang anak kecil: semangat bermain-main. Dan
memang hasilnya adalah sebuah novel yang seperti bermain-main, ingin bercanda, tidak
menganggap terlalu serius hal-hal yang dikatakannya, namun dengan demikian
justru ia menjadi novel yang sangat serius. Bermain-main tapi serius. Serius
tapi bermain-main.
Membaca setiap halaman Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas mengingatkan saya pada
buku-buku stensilan tipis yang dijual di kios-kios majalah yang saya baca
semasa SMP (ya, saya membaca buku-buku stensilan, saya belajar menulis
deskripsi dari cerita-cerita stensilan). Hanya saja, kali ini dalam format
novel. Saya belum pernah membaca novel stensilan. Mungkin pada saat saya SMP
buku seperti itu ada juga dijual di kios majalah tapi saya tidak kepikiran
untuk mencarinya. Novel terbaru si pengarang ini membuat saya terlempar ke masa
lalu, ke masa-masa saat saya masih SMP dan membaca cerita-cerita stensilan dari
buletin tipis berjudul Romansa. Si
pengarang, kali ini, memilih untuk bermain-main di area tulisan seperti itu.
Kata-katanya alangkah vulgar dan mungkin dapat membuat risih orang-orang yang tidak
terbiasa dengan kevulgaran dan kejujuran (saya ingin menggunakan kata kejujuran
karena sebetulnya sesuatu yang vulgar adalah sesuatu yang jujur, dan hanya
orang yang tidak terbiasa dengan kejujuran yang tidak bisa menerima
kevulgaran).
Saya membayangkan novel terbaru si pengarang
ini dibaca oleh para perempuan sambil menjerit risih dan dibaca oleh para
lelaki dengan tertawa-tawa. Namun, mereka berdua merasakan hal yang sama:
mereka penasaran dan tidak bisa berhenti membaca. Seperti hal-hal vulgar dan
jujur lainnya, mereka seolah-olah menolak dan menertawai, tidak ingin terseret
oleh kevulgaran tersebut karena bagi mereka itu dapat menurunkan harkat derajat
dan martabat mereka, namun dalam hati mereka, mereka tidak bisa melawan daya
pikat kevulgaran dan kejujuran tersebut. Kevulgaran dan kejujuran yang
disuguhkan oleh si pengarang. Sebab sesungguhnya baik si lelaki dan si
perempuan, memang diciptakan dari sesuatu yang vulgar, sesuatu yang jujur.
Kevulgaran dan kejujuran inilah yang menarik
saya untuk terus membaca Seperti Dendam,
Rindu Harus Dibayar Tuntas. Kevulgaran dan kejujuran yang ditawarkan oleh
si pengarang lewat sebuah cerita dengan plot yang terkesan acak namun
sesungguhnya diperhitungkan dengan sangat matang dan disusun begitu rapi.
Kevulgaran dan kejujuran yang dituturkan lewat sebuah konflik yang bermula dari
pengalaman traumatik tokoh utamanya: seorang bocah lelaki tukang intip yang tak
bisa lagi membangunkan burungnya setelah ia melihat seorang perempuan gila diperkosa
tanpa bisa melawan di depan matanya sendiri. ***