Kali pertama saya membaca buku dari
pengarang Amerika Latin adalah novela berjudul Memories of My Melancholy Whore, Gabriel García Márquez. Saya
menyukai novela itu, yang bercerita tentang laki-laki yang ingin bercinta
dengan gadis belia sebagai usaha untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-90.
Setelah itu, saya membaca Pedro Páramo, juga
novela, karangan Juan Rulfo. Saya sangat, sangat menyukainya. Semenjak itu,
saya mulai memberikan perhatian khusus pada karya-karya pengarang Amerika
Latin. Termasuk Mario Vargas Llosa, yang sebetulnya sudah saya simpan bukunya
sejak dua tahun lalu, namun baru sempat saya baca tahun ini.
Sebagai penggemar kesusastraan Jepang
(sebetulnya saya baru membaca Yasunari Kawabata, Ryu Murakami, Haruki Murakami,
dan Natsume Sōseki) ada setidaknya satu hal yang tertangkap
oleh saya dari karya-karya pengarang Amerika Latin, yang saya merasa tertarik
untuk membandingkannya dengan karya-karya pengarang Jepang, yakni tentang
bagaimana mereka menggubah tema (atau subtema) seksualitas. Ada semacam
karakteristik yang khas yang muncul di novel-novel pengarang Amerika Latin dan
Jepang saat mereka menggambarkan adegan-adegan percintaan, dan elemen-elemen
lain di dalamnya.
Saya
menyinggung perihal seksualitas karena di dalam novela In Praise of the Stepmother, hal itulah yang menjadi plot utama. Atau
setidaknya, bungkus yang dipakai Llosa untuk menyampaikan hal-hal lain, seperti
interpretasinya terhadap sejarah, mitologi, dan religiusitas.
Dõna
Lucrecia, si ibu tiri, memiliki affair terlarang
dengan anak tirinya sendiri, Alfonso, atau seperti panggilan sayang Dõna
Lucrecia kepadanya, Fonchito. Hubungan terlarang ini berjalan di belakang sang
suami, Don Rigoberto, laki-laki pencinta kebersihan dan ritual (lewat
adegan-adegan yang digambarkan Llosa, saya menduga ia juga mengidap semacam obsessive compulsive disorder). Affair si anak dan ibu tirinya akhirnya
terbongkar, dan di keluarga kecil bahagia itu, terjadilah tragedi.
Membaca
plot utama, dan gambaran adegan-adegan yang ditulis Llosa, agaknya In Praise of the Stepmother bisa kita
masukkan ke dalam genre yang belakangan ini sepertinya kembali populer:
erotika. Genre erotika tiba-tiba saja kembali dibicarakan setelah kemunculan
novel laris sedunia berjudul Fifty Shades
of Grey (saya sendiri belum membacanya). Adegan-adegan seks di novela Mario
Vargas Llosa ini digambarkan dengan apa adanya, tanpa sensor, bahkan di
beberapa bagian terasa berapi-api, seperti penggambaran adegan seks oleh pengarang-pengarang
Amerika Latin lain yang pernah saya baca.
Yang
membuatnya menarik untuk diperbandingkan dengan novel-novel dari para pengarang
Jepang adalah, bagaimana seksualitas hadir dengan tone atau nuansa yang sama sekali berbeda. Di novel-novel Yasunari
Kabawata, misalnya, adegan-adegan percintaan dideskripsikan dengan sangat
lembut, perlahan, subtil, dan sesekali dikombinasikan dengan deskripsi suasana
alam, bagaikan membaca haiku-haiku Jepang. Di novel-novel Haruki Murakami, seksualitas
muncul sebagai sesuatu yang nyaris tidak berarti. Maksudnya, bukan sesuatu yang
mesti dilakukan dengan pikiran-pikiran gugup atau aneh, namun merupakan hal
yang wajar dan mengalir begitu saja. Seorang gadis di dalam novel Haruki
Murakami bisa berkata dengan santainya kepada cowok di sebelahnya, “Kamu lagi
capek ya? Sini, aku bantu melepaskan rasa tegangmu. Aku bisa kasih kamu handjob.”
Sementara
itu, di novel-novel dari pengarang Amerika Latin, termasuk In Praise of the Stepmother, adegan-adegan percintaan muncul dengan
bergelora, berhasrat, berapi-api, layaknya adegan-adegan intim di serial
telenovela. Saya tidak tahu persis dan pastinya hanya menduga-duga, namun
barangkali begitulah cara orang-orang Jepang dan Amerika Latin memandang seks.
Yang satu lembut, perlahan, sekaligus seringkali absurd dan aneh, yang satunya
lagi berapi-api seolah tak ada waktu lain untuk berhubungan badan.
Tentu
saja bukan hanya perkara seksualitas yang ditulis Mario Vargas Llosa di dalam
novelanya ini (saya membaca versi terjemahan Bahasa Inggris oleh Helen Lane,
terbitan Picador). Llosa menggunakan seksualitas untuk mengantarkan
pandangan-pandangan dan interpretasinya terhadap hal-hal yang berputar di
antara sejarah, mitologi, dan religiusitas. Lewat bab-bab yang menunjukkan
aktivitas ritual Don Rigoberto (mandi, membersihkan telinga, buang hajat) Llosa
juga berbicara tentang ketidaksempurnaan dan ‘lubang-lubang’ pada diri manusia serta
bagaimana memandang ‘lubang-lubang itu sebagai cara untuk mencapai kebahagiaan.
Selain
membandingkan elemen seksualitas pada novela Llosa ini dengan novel-novel dari
pengarang Jepang, saat membaca In Praise
of the Stepmother saya juga mau tidak mau teringat My Name Is Red karangan penulis Turki, Orhan Pamuk. Pamuk
menggunakan banyak sudut pandang dalam My
Name Is Red untuk menuturkan ceritanya, selain bertutur dari tokoh-tokoh
utama dan sampingan yang kesemuanya adalah manusia, Pamuk juga memasukkan
bab-bab yang tokoh utamanya adalah benda-benda mati (sekeping koin, warna
merah, anjing dan kuda yang berupa lukisan). Llosa melakukan hal serupa. Selain
menuturkan cerita dari sudut pandang Dõna Lucrecia dan Don Rigoberto, Llosa
juga menggunakan tokoh-tokoh abstrak yang sebetulnya berada di luar cerita (Raja
Candaules, Dewi Venus, Monster, Cinta) namun memiliki porsi untuk memberi lapisan
pemahaman lain atas apa yang sedang berusaha disampaikan oleh Llosa lewat
konflik gelap keluarga kecil Don Rigoberto.
Lewat
tokoh-tokoh abstrak tersebut, Llosa menggunakan alusi-alusi untuk menyampaikan
gagasan-gagasannya akan makna cinta, berahi, dan romantisme. Hubungan terlarang
antara Dõna Lucrecia si ibu tiri dan anak tirinya, Alfonso (serta barangkali
juga si pembantu, Justiniana) dituturkan dengan sangat artistik oleh Llosa
lewat rangkaian kata-kata yang tidak bisa tidak dibaca lebih dari dua atau tiga
kali agar benar-benar dapat menangkap inti dari artinya.
Seperti
juga yang dilakukan oleh Juan Rulfo dan Gabriel García Márquez sang maestro
realisme magis, teks Mario Vargas Llosa adalah sesuatu yang indah, sekaligus
rumit dan berlabirin. Meski jarak perjalanannya pendek, mau tidak mau kita menerima
tawaran Llosa untuk berbelok ke cabang-cabang jalan yang lain terlebih dahulu,
agar dapat meresapi apa yang sebetulnya memang hanya dapat dimengerti lewat perjalanan
bercabang itu.
Dan,
bukankah seperti semua hal di dunia ini juga,
bahwa untuk memahami sesuatu yang kadangkala terasa mudah, kita harus
menempuh perjalanan pikiran yang sangat panjang untuk sampai ke tujuan. Pun,
kita mesti melakukannya dengan tulus, dan seringkali harus mengosongkan
pengetahuan yang sudah dimiliki, agar bisa masuk ke dalam sebuah arena, tempat jawaban
atas seluruh pertanyaan bersembunyi: sebuah labirin.
At first, you will not see me or hear
me, but you must be patient and keep looking. With perseverance and without
preconceptions, freely and with desire, look. With your imagination unleashed
and your penis ready and willing-preferably erect-look. One enters there as the novice nun
enters the cloister, without petty calculations, giving everything, demanding
nothing, and in one’s soul the certainty that it is forever. Only on that
condition, very gradually, the surface of dark purples and violets will begin
to move, to become iridescent, to take on meaning and reveal itself to be what
it in truth is, a labyrinth of love (pg. 117). ***
2 komentar:
Terus terang, tulisan-tulisan bang Bara dalam hal ini tentang pendapatnya mengenai ulasan-ulasan buku-buku yang telah ia baca sungguh menambah pengetahuan baru saya mengenai penulis-penulis di belahan bumi lain. Bang Bara tidak hanya menyampaikan fakta bagaimana penulis-penulis di dunia berkarya, tetapi juga menganalisisnya tentang motif dan latar belakang penulis, juga membandingkannya pada penulis-penulis dunia lain.
Saya menyukai review-review Bang Bara dan bahkan membuat saya ingin membaca buku jika nanti ada kesempatan. Terus menulis ulasan-ulasan buku ya Bang.
Hallo bang bara, udah lama saya main kesini, tapi nggak pernah ninggalin komentar, hihihi Maafkan silent reader ini. :D
terus tadi buka twitter nggak sengaja ngeliat abang ngadain kuis, jadi pengen ikutan. hehehe
makasih udah dikasih review buku2 keren disini. tapi sebenernya saya lebih suka kalo blognya abang ngepost cerpen2 gitu, soalnya saya penikmat cerpen2nya abang. (baca : yang di upload secara gratisan biasanya. hehehe)
Posting Komentar