Wawancara oleh Alanda Kariza
Pertengahan tahun lalu, Alanda Kariza, seorang penulis dan aktivis pergerakan anak muda mengirimi surel dan mewawancarai saya. Wawancara itu ia lakukan untuk mengisi rubrik di blognya bertajuk "Ketika Menulis". Saya tampilkan keseluruhan wawancara tersebut di sini. Anda juga bisa menengoknya di blog Alanda dalam versi yang sama sekali tidak berbeda.
Selamat membaca.
1. Alanda Kariza (AK): Anda telah menerbitkan sejumlah buku
dan mempublikasikan sejumlah cerita pendek. Karya mana yang menjadi favorit
Anda sampai saat ini, dan mengapa?
Bernard Batubara (BB): Saya menulis puisi, cerita pendek, dan novel. Karya
favorit saya adalah buku pertama saya, Angsa-Angsa
Ketapang, kumpulan puisi yang terbit pada awal tahun 2010. Buku itu saya
terbitkan secara mandiri (self-publishing)
dengan kesadaran bahwa tidak ada penerbit major
yang mau menerbitkan naskah kumpulan puisi saya. Pada waktu itu, semua
penerbit major hanya menerbitkan
kumpulan puisi dari penyair-penyair besar. Penyair yang tak punya nama seperti
saya bisa dipastikan tak menarik perhatian mereka. Maka, saya mengumpulkan uang
bulanan dari orangtua (saat itu usia saya 20 tahun, kuliah tahun ketiga) dan
mencetak kumpulan puisi pertama saya, hanya 50 eksemplar. Itu pun saya
bagi-bagikan gratis ke teman-teman sesama penulis muda, dan orang-orang
terdekat. Setelah menerbitkan buku itu, selama sebulan saya hanya makan nasi
dan mi instan.
2. AK: Boleh dibilang, Anda merupakan salah
satu penulis Indonesia yang cukup produktif. Kapan biasanya Anda menulis?
Apakah Anda lebih senang menulis di pagi atau malam hari?
BB: Sebenarnya sih masih
banyak yang jauh lebih produktif, mereka bisa menerbitkan empat sampai lima
novel dalam satu tahun. Saya, sejauh ini, paling banyak dua buku dalam setahun
(kombinasi antara kumpulan cerpen dan novel). Saya menulis ketika saya ingin
menulis. Untungnya, saya selalu merasa ingin menulis. Saya bisa menulis kapan
saja. Pada suatu fase, saya menulis setiap bangun subuh, pukul empat sampai
pukul enam pagi, sebelum berangkat kuliah. Pada fase yang lain, terutama
setelah saya lulus kuliah, saya menulis siang hingga malam hari, pukul satu
sampai pukul delapan atau sembilan malam. Pada fase sekarang, yakni ketika saya
sudah menjadi karyawan dan memiliki jam berkantor, saya menulis setelah jam
kantor usai, pukul tujuh sampai sebelas malam. Saya pernah menjadi morning person dalam waktu yang sangat
lama, sebelum akhirnya kebiasaan bangun pagi itu berubah setelah saya tidak
lagi kuliah. Saya sulit bangun pagi karena hampir setiap hari saya begadang
untuk menulis. Kalau ada jam-jam favorit untuk menulis, mungkin malam hari,
sekitar pukul delapan sampai tengah malam. Tapi, pada dasarnya, saya bisa menulis
kapan saja, asalkan tidak sedang diajak bicara.
3.
AK: Di mana Anda sering menulis? Apakah ada
preferensi tertentu - misalnya, harus di tempat umum, atau justru di tempat
sepi?
BB: Oh, saya tidak bisa menulis di tempat sepi. Maksudmu kamar,
atau pantai yang kosong tanpa manusia? Saya menyukai tempat-tempat sepi, karena
tempat-tempat sepi membuat saya tenang dan nyaman dengan diri saya sendiri.
Namun, kalau untuk menulis, saya lebih memilih tempat-tempat yang ‘bersuara’. Saya
butuh suara-suara untuk tetap sadar dan melek. Saya pernah mencoba menulis di
dalam kamar, tapi seringnya malah mengantuk dan berakhir dengan ketiduran. Ternyata,
saya tidak bisa menulis jika suasana di sekeliling saya terlalu hening. Keheningan
membuat saya mengantuk, dan kalau mengantuk tentunya lebih enak tidur daripada
menulis.
Saya menyelesaikan sebagian besar naskah novel dan cerita
pendek saya di kafe. Kafe memberikan saya suara-suara, dalam kadar yang pas.
Ada suara-suara orang-orang yang sedang berbicara, suara-suara mesin penyeduh
kopi, suara-suara langkah-langkah kaki, semuanya membuat saya tetap sadar dan
tidak mengantuk, sehingga saya bisa berpikir untuk menuliskan cerita-cerita
saya. Meskipun saya membutuhkan suara-suara untuk menulis, saya tidak bisa
menulis sambil mendengarkan lagu lewat earphone.
Dan, tentu saja, saya tidak bisa menulis di tengah-tengah pesta atau aksi
demonstrasi.
4.
AK: Bagaimana susunan meja kerja yang Anda
miliki?
BB: Karena saya jarang menulis di dalam kamar, saya tidak punya
meja kerja. Lagipula, kamar kos-kosan saya tidak memberi ruang yang cukup untuk
saya membeli meja kerja. Di rumah orangtua saya di Pontianak, saya memiliki
meja kerja, tapi saya belum pernah menulis dan menyelesaikan naskah apapun di
sana karena saya hanya pulang ke rumah orangtua sekali dalam setahun, setiap
menjelang lebaran. Meja kerja saya adalah di manapun tempat saat saya menulis:
meja bundar kecil di sudut kafe, meja di kamar hotel saat saya sedang bepergian
keluar kota, meja di minimarket 24 jam. Selama ada meja, dan saya sedang ingin
menulis, maka itulah meja kerja saya.
Oh, ya, biasanya saat menulis, di atas ‘meja kerja’ saya
pasti ada hal-hal ini: laptop, bloknot, pulpen, novel atau kumpulan cerpen atau
buku puisi, dan sebotol air mineral (berganti-ganti dengan iced lemon tea atau double
shots iced shaken espresso, tergantung saat itu saya sedang ingin minum
apa).
5.
AK: Bagaimana Anda biasanya menulis? Alat
apa saja yang Anda gunakan (misalnya: laptop, ponsel, buku catatan, dan
sebagainya)?
BB: Sebagian sudah saya jawab di pertanyaan sebelumnya. Saat
merancang outline atau plot untuk novel, membuat bagan karakter,
saya menulis di bloknot. Saat menulis draf puisi juga saya menggunakan pulpen
dan bloknot. Saat menulis draf utuh naskah novel atau puisi yang sudah selesai
ditulis di bloknot, barulah saya mengetik di laptop. Beberapa kali saya pernah
menulis puisi di ponsel, saat sedang dalam perjalanan dan tidak sempat menulis
di bloknot. Namun demikian, saya belum pernah menulis cerita pendek dan novel
utuh di ponsel (saya pernah bertemu dengan orang yang menulis novel pertamanya,
seluruh naskah novel pertamanya di ponsel, tidakkah itu menakjubkan?)
6.
AK: Apakah Anda biasa mendengarkan musik
ketika sedang menulis? Musik yang seperti apa?
BB: Sekali-kali, saya mendengarkan musik. Meskipun sempat saya katakan
sebelumnya bahwa saya sulit berkonsentrasi kalau menulis sambil mendengarkan
musik. Saya mendengarkan musik, seringnya, hanya untuk membangun mood. Lagu-lagu yang saya dengarkan
biasanya sesuai dengan adegan yang sedang ingin saya tulis, dan ambience yang ingin saya dapatkan di
dalam adegan itu. Misal, saya sedang ingin menulis adegan yang mellow dan sedih, maka saya mendengarkan
lagu-lagu mellow dan sedih. Atau,
saat saya ingin menulis adegan cute dan
manis, maka saya mendengarkan lagu-lagu yang bernuansa manis. Begitu pula saat
saya ingin menulis adegan pertengkaran atau marah-marah, maka saya mendengarkan
lagu rock, metal, atau bahkan underground (tapi ini jarang sekali,
karena di cerita-cerita yang saya tulis jarang ada orang marah-marah).
Kadangkala, saya mendengarkan musik yang sesuai dengan
karakter dalam novel. Draf terbaru saya, Sarif
& Nur (sedang menunggu giliran penyuntingan di penerbit, direncanakan
terbit tahun ini), tokohnya adalah seorang pemain biola, dan di dalam plotnya
banyak lagu-lagu klasik yang muncul, maka saat menuliskan Sarif & Nur saya selalu mendengarkan lagu-lagu Brahms, Bach,
dan Chopin.
7.
AK: Bagaimana "hari menulis" Anda
biasanya berjalan? (Misalnya, bangun jam 3 pagi lalu menulis, atau mungkin,
bangun jam 8 pagi, menulis, makan siang, menulis lagi, dsb.)
BB: Saya punya “hari menulis” ini jika saya sedang mengerjakan
sebuah novel. Untuk cerita-cerita pendek ‘lepas’, saya menulis kapanpun saya
ingin menulis, tanpa pola tertentu. Untuk puisi, karena pendek-pendek,
‘pola’nya seperti menulis cerita pendek, kapanpun saya ingin. Sebelum saya
memiliki jam berkantor, saya punya “hari menulis”, dan berlangsung kira-kira
seperti ini: Bangun tidur pukul sembilan, sarapan, mandi, pergi ke kafe setelah
makan siang, menulis sampai petang, makan malam, lanjut menulis sampai tengah
malam, pulang ke kos. Rutinitas ini berlangsung hingga draf pertama novel saya
selesai.
8.
AK: Bisakah Anda menceritakan bagaimana
proses yang biasanya Anda lalui ketika menerbitkan sebuah karya - mulai dari
membuat kerangka tulisan sampai akhirnya tulisan tersebut diterbitkan?
BB: Saya selalu membuat sinopsis dan outline sebelum menulis draf novel. Setelah sinopsis dan outline beres, saya menulis draf
pertama. Proses menulis draf pertama hingga selesai biasanya memakan waktu satu
hingga dua bulan (saat ini, karena kewajiban saya bertambah, durasi yang saya
butuhkan untuk menyelesaikan satu naskah novel pun menjadi lebih lama, bisa
empat hingga lima bulan). Setelah draf pertama selesai, saya endapkan. Proses
pengendapan naskah berlangsung tiga minggu hingga satu bulan. Setelah
pengendapan, saya baca ulang, dan memulai revisi mandiri (self-editing) untuk menghasilkan draf kedua. Draf kedua ini yang
saya kirim ke editor. Setelah draf naskah diterima oleh editor, saya tinggal
menunggu editor memulai proses penyuntingan (lama waktu menunggu tergantung
kesibukan editor pada saat itu). Proses penyuntingan naskah sendiri biasanya
berlangsung satu sampai dua bulan. Setelah penyuntingan, masuk ke tahap
perancangan tata letak (layout) dan
sampul (cover). Editor akan mengirimi
contoh layout dan pilihan cover. Sebagai penulis, saya diberi hak
untuk memilih layout dan cover mana yang saya inginkan untuk
novel saya. Setelah semuanya beres, maka tinggal menunggu tanggal naik cetak. Seluruh proses ini berlangsung selama
kurang-lebih empat sampai lima bulan.
Setelah buku naik cetak dan didistribusikan ke toko-toko
buku, biasanya saya diberi jadwal talkshow,
untuk bertemu pembaca dan mempromosikan buku terbaru saya. Ini adalah
kesempatan untuk membuat orang-orang yang telah membaca buku saya semakin ingin
membaca buku terbaru saya, dan orang-orang yang belum pernah membaca buku saya,
menjadi penasaran dan ingin membaca buku saya. Bukankah salah satu tugas
pengarang adalah mempengaruhi orang lain dengan tulisannya? Termasuk
mempengaruhi mereka untuk membeli buku kita. Hehehe.
Saya kira, bagian terpenting dari pertanyaanmu dan
penjelasan saya untuk pertanyaan ini adalah, setiap orang yang ingin menjadi
penulis (published author) harus
mengetahui tahapan-tahapan ini, sehingga tidak buru-buru atau cepat patah arang
dan menyalahkan penerbit untuk proses yang memakan waktu lama. Terbitnya sebuah
buku bukan proses yang lekas seperti memasak mi instan, kecuali kamu ingin
bukumu seperti mi instan: Mungkin cepat saji dan bisa segera disantap, tapi
tidak sehat dan berbahaya. Begitu pula jika ingin menjadi seorang penulis, tidak ada yang instan, semua butuh proses. Kamu
akan menghadapi kesulitan yang seperti tidak ada ujungnya, kehilangan mood, memeras otak untuk mendapatkan ide
dan plot yang bagus, kekeringan inspirasi, dan lain sebagainya. Jika kamu tidak
tahan dengan proses ini, lebih baik kamu memelihara ikan atau burung. Sebab, sebagaimana
tidak ada pelaut handal terlahir dari samudera yang tenang, tidak ada penulis
besar lahir dari proses yang gampang. ***
Komentar