Cerita tentang Seorang Sopir Bus yang Ingin Menjadi Tuhan (Etgar Keret)
*
Ini
cerita tentang seorang sopir bus yang tidak pernah mau membukakan pintu
busnya bagi orang-orang yang terlambat. Tidak bagi siapapun. Tidak bagi seorang
murid tertindas di sekolahnya yang berlari bersisian dengan bus sembari menatap
bus dengan tatapan memelas, dan apalagi tidak bagi orang-orang yang menggedor
keras pintu bus seakan-akan mereka tidak terlambat dan bahwa si sopir bus lah
yang tidak tepat waktu, dan bahkan tidak pula bagi nenek bertubuh kecil yang
mendekap bungkusan belanja seraya berusaha keras menyetop bus dengan lambaian
tangannya yang gemetar. Si sopir bus tidak membukakan pintu bagi mereka semua
bukan karena ia jahat, sebab secuil pun ia tidak punya bakat jahat di dalam
dirinya. Ini perkara prinsip.
Begini prinsip si sopir bus:
Katakanlah,
bus tertunda jadwalnya bila ia membukakan pintu bagi seseorang yang terlambat
kurang dari tiga puluh detik, dan bila ia tidak membukakan pintu bus membuat
orang tersebut kehilangan lima belas menit dalam hidupnya, itu tetap akan adil,
karena tiga puluh detik telah terselamatkan dari hidup seluruh penumpang bus. Nah,
jika di bus ada 60 orang tak bersalah yang tiba di halte bus tepat waktu, bila
dijumlahkan mereka semua akan kehilangan tiga puluh menit, yang mana itu dua
kalinya waktu terbuang milik si orang terlambat tadi.
Inilah
satu-satunya alasan si sopir bus tidak akan mau membukakan pintu bagi
orang-orang terlambat. Ia tahu, para penumpang tidak akan memahami prinsipnya,
begitu pula mereka yang terlambat dan mengejar bus seraya memberinya beragam
isyarat agar berhenti-mereka tidak
akan mengerti. Ia juga tahu, bahwa orang-orang menganggap ia menyebalkan, dan secara
pribadi lebih mudah baginya menerima senyum dan ucapan terima kasih dari mereka
sambil membiarkan mereka memandangnya dengan anggapan demikian.
Kecuali
bila sebenarnya ia menyadari bahwa ia hanya bisa memilih satu dari dua hal
berikut: antara senyum disertai ucapan terima kasih, atau kebaikan publik.
Seseorang
yang paling dirugikan oleh prinsip si sopir bus ini adalah Eddie, tapi
tidak seperti orang-orang lain dalam cerita ini, Eddie bahkan tidak akan pernah
mencoba mengejar bus bila ia terlambat, ya, sebegitu malas dan tersia-siakannya
memang orang ini. Nah, Eddie adalah seorang asisten koki di restoran bernama The
Steakaway, yang mana nama tersebut merupakan hasil permainan kata terbaik yang
bisa dipikirkan oleh pemiliknya (Stick-away!).
Makanan di restoran itu tidak istimewa, tapi Eddie sendiri adalah pemuda yang baik-saking baiknya dia, kalau ada masakannya yang
tidak begitu enak, ia sendiri yang akan membawa makanan itu ke meja pelanggan
dan sekaligus meminta maaf.
Pada
salah satu adegan meminta maaf inilah, Eddie bertemu Kebahagiaan, atau
setidaknya secicip Kebahagiaan, dalam wujud seorang gadis yang teramat baik
hatinya karena ia bahkan mencoba menelan habis daging sapi bakar yang Eddie bawakan
untuknya, hanya agar pemuda itu merasa senang. Dan gadis ini tidak mau memberi
tahu Eddie namanya ataupun nomor ponselnya, tapi gadis ini cukup manis karena
ia bersedia menemui Eddie keesokan harinya pada pukul lima sore, di tempat yang
mereka sepakati-Dolphinarium,
tepatnya.
Nah,
sialnya, Eddie punya satu masalah-sesuatu
yang telah membuatnya kelewatan banyak hal sepanjang hidupnya. Tidak, sesuatu
ini bukan semacam pembengkakan adenoid atau
sejenis itu, tapi tetap saja, hal ini sudah banyak merugikannya. Yakni, ia
punya semacam penyakit yang membuatnya selalu tertidur sepuluh menit lebih lama
dari seharusnya, dan tidak satu alarm pun
pernah berhasil membangunkannya. Itulah kenapa ia kerap terlambat berangkat ke
The Steakaway, juga terlambat naik bus yang dikemudikan oleh si sopir bus
yang senantiasa lebih memihak kepentingan publik ketimbang urusan pribadi.
Akan
tetapi, kali ini Eddie mau tidak mau harus mengatasi masalahnya, karena taruhannya
adalah Kebahagiaan, dan alih-alih tidur sore seperti biasa, ia memutuskan tetap
terjaga sambil menonton televisi. Agar aman, ia tidak hanya memasang satu jam alarm, melainkan tiga. Tapi sial sekali,
penyakit ini betul-betul tidak tersembuhkan, dan Eddie tetap tertidur
selayaknya bayi, di hadapan televisi yang menayangkan kanal anak-anak. Ia
terbangun oleh lengkingan suara jutaan, milyaran, alarm-terlambat sepuluh
menit, tergopoh-gopoh keluar rumah tanpa mengganti pakaian, dan berlari menuju
halte bus.
Ia tidak
ingat lagi caranya berlari, dan kakinya bahkan sesekali terpelecok. Kali
terakhir ia berlari adalah sebelum ia menyadari bahwa ia bisa juga membolos dari
jam pelajaran olahraga, waktu itu ia kelas enam SD, hanya saja tidak seperti
pada jam pelajaran olahraga tersebut, sekarang ia berlari sangat sangat sangat
sangat kencang, karena ia tahu bila tidak melakukannya ia akan kehilangan
sesuatu, dan segenap rasa sakit di dadanya serta panggilan sayup-sayup dari
bungkus Lucky Strike di kantung bajunya tidak dapat mencegahnya dari usahanya
Mengejar Kebahagiaan.
Tidak
ada yang dapat menghalanginya kecuali si sopir bus kita, yang baru saja
menutup pintu bus, dan akan segera beranjak. Si sopir bus melihat Eddie
lewat kaca spion, tapi seperti sudah kami jelaskan sebelumnya, ia punya prinsip-prinsip yang teramat masuk akal yang, lebih
dari apapun, didasarkan pada sikap menjunjung tinggi keadilan, juga perhitungan
aritmatika sederhana. Tapi Eddie tidak peduli dengan perhitungan aritmatika si
sopir bus. Untuk kali pertama sepanjang hidupnya, ia benar-benar ingin tiba
di suatu tempat pada waktu yang tepat. Dan itulah kenapa ia tetap mengejar bus,
meski ia tidak punya peluang sedikit pun.
Tiba-tiba
saja, keberuntungan Eddie datang, tapi cuma separuh keberuntungan: kira-kira seratus
meter dari halte bus sebelumnya, ada traffic
light. Dan, hanya beberapa detik sebelum bus mencapainya, lampu merah
menyala. Eddie berhasil menyusul bus
dan menggapai pintu masuk sopir bus. Saking kelelahannya, ia tidak mampu
lagi mengetuk kaca pintu. Ia hanya menatap si sopir bus dengan mata yang
berembun, sembari memegangi lututnya, ngos-ngosan.
Dan,
melihat Eddie seperti itu, si sopir bus teringat akan sesuatu-jauh di masa lalunya, dari suatu waktu
ketika ia bahkan belum terpikir untuk menjadi seorang sopir bus, dari suatu
waktu ketika ia masih ingin menjadi Tuhan.
Itu
memori yang agak sedih sebenarnya, karena pada akhirnya ia gagal menjadi Tuhan,
tapi juga membahagiakan, karena ia kemudian menjadi sopir bus, yang mana
adalah keinginan keduanya setelah menjadi Tuhan. Dan tiba-tiba si sopir bus
teringat akan janjinya kepada diri sendiri bahwa bila ia dapat menjadi Tuhan,
ia akan menjadi Tuhan yang baik dan pengampun, dan akan mendengarkan doa-doa
seluruh makhluk-Nya. Jadi, ketika dari bangku sopirnya ia melihat Eddie
berlutut di jalanan aspal, ia tidak lagi bisa mempertahankan prinsipnya, dan meski
dengan seluruh pertimbangan kepentingan publik dan perhitungan aritmatikanya
itu, ia membukakan pintu, dan Eddie pun naik-tanpa
mengucapkan terima kasih, karena ia betul-betul kehabisan napas.
Hal
terbaik yang bisa kamu lakukan adalah berhenti membaca cerita ini di sini,
karena meski Eddie akhirnya tiba di Dolphinarium tepat pada waktunya,
Kebahagiaan tidak datang, karena Kebahagiaan sudah memiliki seorang kekasih. Hanya
karena gadis itu terlalu baik ia tidak dapat mengatakan hal tersebut kepada
Eddie, jadi ia memilih membiarkan pemuda itu melakukan apa yang ingin ia
lakukan.
Eddie
menanti dan menanti, di bangku yang mereka berdua sepakati, nyaris selama dua
jam penuh. Sepanjang penantiannya, ia terus memikirkan hal-hal depresif mengenai
kehidupan, dan sembari berpikir, ia memandangi senja yang lumayan indah, dan mengira
bila menunggu lebih lama lagi bisa-bisa ia akan jadi penjaga malam.
Dalam
perjalanan pulang, saat ia sangat putus asa, ia melihat bus di kejauhan berhenti
di halte dan menurunkan penumpang, dan pada saat itu ia tahu bahwa meskipun ia
punya tenaga untuk berlari, ia toh tidak
akan sanggup menyusul bus itu. Jadi ia tetap berjalan pelan, dan pada tiap
langkahnya ia merasa-rasai jutaan sel otot yang kelelahan, dan ketika ia sedikit
lagi tiba di halte, bus masih di situ, menunggunya. Dan meskipun para penumpang
di dalam berteriak-teriak dan mengomel agar bus segera berangkat, si sopir bus menunggu Eddie, dan ia tidak sedikit pun menginjak pedal gas hingga Eddie
duduk di dalam bus. Ketika akhirnya bus berangkat, si sopir bus melihat ke
arah Eddie melalui kaca spion dalamnya, dan mengerling simpati kepadanya, dan itu
membuat segalanya jadi terasa dapat tertanggungkan. ***
Komentar
Amat membantu memuaskan dahaga saya.