Lubang di Tembok (Etgar Keret)
Diterjemahkan dari versi bahasa Inggris di buku The Bus Driver Who Wanted to be God (Riverhead Books, 2015). Terjemahan bahasa Inggris dari Ibrani oleh Miriam Shlesinger.
Di
Bernadotte Avenue, tepat di sebelah Central Bus Station, terdapat lubang di
suatu permukaan tembok. Dulunya ada ATM di situ, tapi kemudian rusak atau
semacamnya, atau mungkin juga tidak ada yang pernah menggunakannya, jadi orang-orang
bank mencopot mesin ATM itu dan tidak pernah memasangnya lagi.
Seseorang
pernah berkata kepada Udi bahwa bila kau meneriakkan keinginanmu di hadapan lubang
itu, maka keinginan tersebut akan terwujud, tapi Udi tidak sepenuhnya percaya. Faktanya,
suatu hari saat ia dalam perjalanan pulang dari menonton film di bioskop, ia meneriaki
lubang di tembok tersebut dan berkata bahwa ia ingin Dafne Rimalt jatuh cinta
kepadanya, dan setelahnya tidak terjadi apapun.
Dan
suatu hari, ketika ia merasa sangat kesepian, ia kembali meneriaki lubang di tembok
itu dan berkata bahwa ia ingin punya teman seorang malaikat, dan ternyata malaikat
itu betul-betul muncul, tapi ia tidak bersikap layaknya seorang teman dan selalu
saja menghilang di saat Udi sedang membutuhkannya. Malaikat ini kurus, suka
merunduk, dan senantiasa mengenakan jas hujan yang menutupi sepasang sayapnya. Orang-orang
di jalan mengira ia benar-benar hunchback-makhluk
bungkuk. Kadang-kadang, kalau mereka hanya berdua, si malaikat akan mencopot
jas hujannya. Sekali waktu ia bahkan membolehkan Udi menyentuh bulu-bulu
sayapnya. Tapi saat ada orang lain bersama mereka, ia mengenakan jas hujannya
kembali.
Suatu
hari anak-anak keluarga Klein bertanya kepada si malaikat, apa yang ia sembunyikan
di balik jas hujan itu, dan ia menjawab itu adalah ransel penuh buku-buku yang
bukan miliknya dan ia tidak ingin buku-buku itu basah.
Sejujurnya,
ia selalu berbohong.
Ia
menceritakan Udi kisah-kisah yang dapat membuatmu sekarat saking terlalu menakjubkannya:
tentang tempat-tempat di alam surga, tentang orang-orang yang beranjak ke
tempat tidur tanpa mencabut kunci mobilnya, dan tentang kucing-kucing yang
tidak takut terhadap apapun bahkan tidak tahu apa arti dari “tahi kucing”. Malaikat
tersebut bersumpah cerita-cerita itu benar adanya.
Udi
nyaris gila dibuatnya, dan ia berusaha keras mempercayainya. Beberapa kali ia
bahkan meminjaminya sejumlah uang ketika malaikat itu sedang kesulitan. Sedang
si malaikat sama sekali tidak berbuat apapun untuk Udi. Ia hanya berceloteh dan
berceloteh dan berceloteh terus, melantur dengan cerita-cerita tololnya. Sepanjang
enam tahun Udi mengenalnya, ia tidak pernah melihatnya melakukan hal-hal luar
biasa.
Ketika
Udi menjalani pelatihan dasar wajib militer, dan ia betul-betul butuh seseorang
untuk diajak bicara, si malaikat tiba-tiba menghilang selama dua bulan penuh. Kemudian,
ia kembali dengan wajah brewok dan ekspresi jangan-tanyakan-apa-yang-terjadi. Jadi
Udi tidak bertanya apapun kepadanya, dan di suatu hari Sabtu mereka duduk
berdua di atas atap, mengenakan celana pendek, meresapi pancaran sinar
matahari, dan merasa lesu. Udi memandangi atap rumah-rumah lain yang di atasnya
banyak kabel berkelindan serta alat pemanas dari energi matahari dan ia juga
memandangi langit.
Tiba-tiba
ia menyadari sesuatu, selama bertahun-tahun ia bersama si malakat, ia tidak
pernah satu kali pun menyaksikan malaikat itu terbang.
“Gimana
kalau kau terbang sedikit,” ia berkata kepada si malaikat. “Pasti kau merasa lebih
enakan.”
Dan
si malaikat berkata: “Lupakan. Gimana kalau ada yang lihat?”
“Ayolah,”
kata Udi. “Sedikit saja. Demi aku.” Tapi si malaikat, disertai suara yang
jorok, malah menggali dahaknya dengan satu sedotan melalui tenggorokan dan
meludahi atap rumah.
“Ya
sudahlah,” kata Udi. “Aku bertaruh, kau memang tidak bisa terbang.”
“Tentu
saja bisa,” si malaikat membalas. “Aku cuma tidak mau ada orang yang melihatku,
itu saja.”
Di
atas atap rumah di seberang jalan, mereka melihat beberapa bocah melempar bom
air. “Tahu tidak,” Udi tersenyum. “Dulu, waktu aku kecil, sebelum bertemu
denganmu, aku sering banget ke sini dan melempari orang-orang di jalanan dengan
bom air. Aku akan melemparkan ke arah antara kanopi satu dengan yang lain,” ia
menjelaskan, sembari mencondongkan tubuhnya dan mengacungkan jari ke arah kanopi
di toko sembako dan kanopi di toko sepatu. “Orang-orang akan mendongak, dan
yang mereka lihat hanya kanopi. Mereka tidak akan tahu dari mana datangnya
bom-bom air itu.”
Si
malaikat juga berdiri, dan melihat ke jalanan di bawah mereka. Ia membuka
mulutnya, hendak mengucapkan sesuatu. Sekonyong-konyong, Udi mendorong si
malaikat hingga ia limbung. Udi cuma bermain-main. Ia tidak berniat menyakiti
si malaikat, cuma ingin ia terbang sedikit demi hiburan. Tapi si malaikat jatuh
sejauh lima lantai, mendarat bagai sekarung kentang.
Terpana,
Udi melihat malaikat itu tergeletak di trotoar. Tubuh si malaikat masih utuh,
kecuali sepasang sayap yang agak berkedut, seperti sekarat. Itulah momen ketika
ia akhirnya paham bahwa dari semua hal yang pernah malaikat tersebut ceritakan
kepadanya, tidak satu pun yang benar. Si malaikat bahkan bukanlah malaikat,
cuma tukang bohong yang memiliki sepasang sayap. ***
Komentar
Kharis: Terima kasih sudah mampir dan membaca, Ris.
Novi: Barangkali kita semua akan begitu. :D
RIfan: Sama-sama. Terima kasih sudah membaca.
Thks Bara . . .