Memecahkan Celengan Babi (Etgar Keret)
Diterjemahkan dari versi bahasa Inggris di buku The Bus Driver Who Wanted to be God (Riverhead Books, 2015). Terjemahan dari bahasa Ibrani ke bahasa Inggris oleh Miriam Shlesinger.
*
Ayah
tidak mau membelikanku boneka Bart Simpson. Ibu bilang boleh, tapi Ayah bilang
aku terlalu dimanjakan. “Kenapa?” katanya kepada Ibu. “Kenapa pula harus kita
turuti kemauan anak ini? Dia cuma perlu merengek sedikit dan kau langsung
mengabulkan apa yang dia mau.” Ayah bilang aku tidak dapat menghargai uang, dan
bila aku tidak belajar sedari kecil, kapan lagi? Anak-anak yang diberi boneka
Bart Simpson dengan cara mudah akan tumbuh dewasa jadi preman yang suka memalaki
pedagang kaki lima, karena mereka terbiasa mendapatkan apa yang mereka inginkan
dengan cara yang mudah. Jadi alih-alih membelikanku boneka Bart Simpson, Ayah
membelikanku sebuah celengan babi buruk rupa dan dengan demikian aku akan
tumbuh dewasa dengan baik-baik saja dan tidak akan jadi seorang preman.
Kini,
meskipun aku membencinya, setiap pagi aku harus minum cokelat. Segelas cokelat
campur kulitnya berarti sekeping shekel,
dan kalau tanpa kulit artinya setengah shekel,
dan bila aku muntah aku tidak dapat apapun. Aku meloloskan keping-keping shekel ke punggung celengan babi yang
berlubang, dan saat aku mengocoknya ia bergemerincing. Kelak saat si babi sudah
penuh dan tidak bergemerincing lagi waktu dikocok, aku bisa dapat boneka Bart
Simpson dan papan skate sekaligus.
Begitu kata Ayah, dan menurutnya ini cara yang mendidik.
Sebenarnya,
si babi ini imut. Hidungnya terasa dingin kalau kau sentuh, dan dia tersenyum
saat kau memasukkan sekeping shekel
melalui punggungnya ataupun setengah shekel,
tapi yang paling menyenangkan adalah dia tetap tersenyum meski kau tidak
memasukkan apa-apa. Aku memberinya nama: Pesachson. Dari nama merk kotak surat
di rumah.
Pesachson
tidak seperti mainanku yang lain, dia lebih tenang, tidak punya lampu dan per
pegas dan baterai yang suatu waktu bisa soak. Kau cuma perlu mengawasinya
supaya dia tidak melompat dari meja. “Pesachson, hati-hati! Kau itu buatan
Cina,” kataku saat aku melihatnya agak mencondongkan tubuh dan melongo ke
lantai, dan dia tersenyum kepadaku dan dengan sabar menungguku menurunkannya.
Aku
tergila-gila dengan senyumannya. Demi dia lah aku rela setiap pagi minum
cokelat dengan kulit, supaya aku bisa memasukkan sekeping shekel melalui punggungnya dan melihat betapa senyumnya tidak
pernah bergeser sedikit pun. “Aku menyayangimu, Pesachson,” kataku kemudian.
“Jujur ya, aku lebih menyayangimu ketimbang Ibu atau Ayah. Dan aku akan selalu
menyayangimu, tidak peduli apapun yang terjadi, bahkan kalaupun kau jadi preman.
Tapi jangan sekali-sekali kau melompat dari meja, ya!”
Kemarin,
ayah mengambil Pesachson dari meja dan lalu mengocok-ngocoknya ke atas dan ke
bawah dengan kasar. “Hati-hati, Yah,” kataku, “Ayah bikin Pesachson sakit
perut.” Tapi Ayah terus saja mengocoknya.
“Tidak
ada bunyi gemerincing, kau tahu itu artinya apa, Yoavi? Besok kau dapat boneka
Bart Simpson dan papan skate.”
“Asyik!”
seruku. “Bart Simpson di atas papan skate,
asyik. Tapi jangan kocok Pesachson lagi, itu bikin dia nggak nyaman.”
Ayah
meletakkan Pesachson kembali ke atas meja, kemudian pergi mencari Ibu. Setelah
beberapa saat, ia muncul lagi bersama Ibu.
Ayah
menggenggam martil.
“Apa
kubilang.” kata Ayah kepada Ibu. “Sekarang anak ini tahu bagaimana cara
menghargai sesuatu. Begitu, kan, Yoavi?”
“Tentu,
aku tahu,” kataku, “tentu… tapi itu martilnya buat apa?”
“Ini
untukmu,” kata Ayah, dan ia meletakkan martil tersebut di tanganku.
“Hati-hati.”
“Tentu,
aku akan hati-hati,” kataku, dan aku memang benar-benar berhati-hati, tapi beberapa
saat kemudian Ayah tampak geram.
“Ayo,
pecahkan babinya.”
“Apa?”
tanyaku, “pecahkan Pesachson?”
“Ya,
ya, Pesachson,” kata Ayah. “Ayo, pecahkan. Kau berhak dapat Bart Simpson, kau
sudah berjuang keras.”
Pesachson
tersenyum kepadaku dengan satu senyum yang sedih, senyum seekor babi Cina yang
tahu bahwa akhir hidupnya akan tiba.
Masa bodo dengan Bart Simpson. Aku,
menghajar kepala sahabat terbaikku dengan martil?
“Aku
tidak mau Bart.” Aku mengembalikan martil itu ke Ayah. “Pesachson saja cukup untukku.”
“Kau
tidak paham,” kata Ayah. “Tidak apa-apa, ini namanya mendidik. Sini, Ayah
pecahkan untukmu.”
Seketika
saja Ayah sudah mengangkat martilnya, dan aku menatap mata Ibu yang tampak jeri
dan senyum lemah Pesachson dan aku tahu semua ini bergantung pada tindakanku,
kalau aku tidak berbuat apa-apa dia akan segera mati.
“Ayah.”
Aku menarik-narik celana Ayah.
“Apa,
Yoavi?” kata Ayah. Tangannya yang menggenggam martil masih bersiaga.
“Aku
minta satu shekel lagi, ya, aku
mohon,” kataku. “Aku minta satu shekel buat
aku masukkan, besok, habis minum cokelat. Habis itu baru kita pecahkan, besok,
aku janji.”
“Satu
shekel lagi?” Ayah tersenyum dan meletakkan
martil ke atas meja.
“Iya.
Lihat, kan, aku sudah mengerti dan dewasa,” kataku. “Besok.” Saat itu, airmata
sudah tersangkut di tenggorokanku.
Ketika
mereka meninggalkan ruangan, aku memeluk Pesachson sangat erat dan akhirnya
airmataku mengalir. Pesachson tidak berkata apa-apa, hanya bergemetar dengan
heningnya di dalam dekapanku. “Jangan takut,” aku berbisik di telinganya, “aku
akan menyelamatkanmu.”
Malamnya,
aku menunggu Ayah selesai menonton televisi di ruang tengah sampai ia masuk
kamar dan tidur. Kemudian, diam-diam aku menyelinap keluar rumah bersama
Pesachson. Kami berjalan sangat jauh sampai tiba di padang rumput luas yang
penuh dengan duri. “Babi suka sekali dengan padang rumput luas,” kataku kepada
Pesachson sembari meletakkannya di tanah, “apalagi padang yang banyak durinya.
Kau akan betah di sini.”
Aku
menunggu jawaban, tapi Pesachson tidak mengatakan apapun, dan saat aku
menyentuh hidungnya untuk mengucapkan selamat tinggal, dia hanya menatapku
dengan sedih. Dia tahu dia tidak akan pernah bertemu denganku lagi. ***
Catatan: Shekel adalah mata uang Israel.
Komentar
Terima kasih Bang Beben