Keluarga Santini Terbang (Etgar Keret)
Diterjemahkan dari versi bahasa Inggris di buku The Bus Driver Who Wanted to be God (Riverhead Books, 2015). Terjemahan dari bahasa Ibrani ke bahasa Inggris oleh Miriam Shlesinger.
Italo
melambai dengan tangan kirinya, dan suara drum
yang mengganggu pun berhenti. Ia menarik napas panjang dan memejam. Tepat
pada saat aku melihatnya dengan kostum yang berkilauan, berdiri tegak lurus di ujung
papan loncat, kepalanya nyaris menyentuh langit-langit tenda; seketika semuanya
menjadi jelas. Aku akan meninggalkan rumah dan bergabung dengan regu sirkus! Aku
juga akan menjadi salah satu dari Santini yang terbang, aku akan melesat di
udara seperti seorang setan, aku akan bergelantung pada tali trapeze menggunakan gigiku!
Italo
berputar dua setengah kali di udara, dan saat memasuki putaran ketiga, ia
melepaskan genggamannya dari Enrico, Santini termuda. Seluruh penonton berdiri
dan bertepuk tangan dengan keras. Ayah mengambil kotak popcorn milikku dan melemparkannya ke udara, isinya berjatuhan ke
atas kepalaku.
Anak-anak
lain sampai harus kabur dari rumah mereka tengah malam untuk bergabung dengan
regu sirkus, tapi Ayah malah mengantarku dengan mobilnya sendiri. Ia dan Ibu membantuku
mengepak perlengkapan di dalam koper. “Ayah bangga denganmu, Nak,” katanya seraya
memelukku, beberapa saat sebelum aku mengetuk pintu mobil caravan milik Papa Luigi Santini. “Sampai jumpa, Ariel-Marcello
Santini. Dan ingatlah Ayah dan Ibu setiap kali kamu terbang melayang di atas
lantai sirkus.”
Papa
Luigi membuka pintu karavan. Ia mengenakan celana panjang berkilau-kilau-kostum sirkusnya-dan baju piyama dengan motif garis-garis.
“Saya
ingin bergabung, Papa Luigi,” aku berbisik. “Saya juga ingin jadi Santini
Terbang.”
Papa
Luigi melihatku, dari atas sampai bawah, dengan tatapan yang optimis, kemudian
meremas-remas otot lenganku yang ramping dengan ketertarikan tertentu, dan
akhirnya mempersilakanku masuk.
“Banyak
sekali anak-anak yang ingin jadi Santini Terbang,” ia berkata setelah sejenak
hening. “Apa yang membuatmu berbeda?”
Aku
tidak tahu harus menjawab apa. Aku hanya menggigit bibirku dan diam.
“Apa
kau pemberani?” tanya Papa Luigi.
Aku
mengangguk.
Dengan
sangat tiba-tiba, Papa Luigi melayangkan satu pukulan ke arah wajahku. Aku
tidak bergerak sedikit pun, bahkan tidak juga berkedip.
“Hmm…,”
Papa Luigi mengusap-usap dagunya. “Apa kau gesit?” ia bertanya. “Kau pasti tahu
Santini Terbang terkenal dengan kegesitannya.”
Lagi,
aku mengangguk, seraya menggigit bibir bawahku.
Papa
Luigi merentangkan tangan kanannya, di atas telapaknya satu koin seratus lira, dan ia memberiku isyarat dengan
alisnya yang berwarna perak. Aku berhasil merebut koin sebelum ia kembali mengepalkan
tangan. Papa Luigi mengangguk dengan bangga.
“Satu
ujian lagi,” ia menyergah, “ujian kelenturan badan. Kau harus menyentuh jempol kakimu
tanpa menekuk lutut.”
Aku
merilekskan tubuhku, menghela napas panjang, memejam, persis seperti abangku Italo
ketika malam itu ia menggelar pertunjukannya. Aku membungkuk dan mengulurkan
tangan. Aku bisa melihat ujung-ujung jemariku hanya berjarak beberapa milimeter
dari tali sepatuku, nyaris menyentuhnya. Tubuhku menegang penuh seperti seutas
tali yang sewaktu-waktu bisa putus—tapi aku tidak menyerah. Empat milimeter
saja yang memisahkanku dengan keluarga Santini. Aku tahu aku harus menerobos
batas tersebut.
Dan kemudian,
tiba-tiba saja, aku mendengar suara itu. Seperti suara kayu dan kaca retak
dalam waktu bersamaan, begitu nyaring hingga memekakkan telinga. Ayah, yang
sedang menunggu di luar, terkejut dengan suara tersebut dan tergopoh-gopoh
masuk ke dalam karavan.
“Kamu
baik-baik saja?” ia bertanya dan mencoba memapahku.
Aku
tidak bisa meluruskan punggungku. Papa Luigi menggendongku dengan tangannya
yang kokoh, dan kami semua pergi ke rumah sakit.
Hasil
rontgen menunjukkan ada sekeping lempengan terselip di antara titik L2 dan L3
tulang punggungku. Saat aku melihat foto rontgen dengan bantuan lampu, aku bisa
melihat semacam bercak hitam, seperti tetesan kopi, pada tulang punggung yang
berwarna transparan. Pada amplop cokelat, tertulis dengan pena-nama “Ariel Fledermaus”. Bukan Marcello,
bukan pula Santini-hanya tulisan jelek
tersebut.
“Kau,
kan, bisa saja menekuk lututmu,” bisik Papa Luigi seraya mengusap airmatanya.
“Kau bisa saja menekuk lututmu sedikit. Aku tidak akan melarangnya.” ***
Komentar