Tidak Benar-Benar Sendirian (Etgar Keret)
Diterjemahkan dari buku Suddenly, A Knock on the Door
*
Tiga
laki-laki yang pacaran dengannya pernah mencoba bunuh diri. Ketika menceritakan
hal tersebut, ia terdengar sedih, tetapi juga agak bangga. Satu dari mereka
bahkan berhasil melakukannya: melompat dari atap gedung fakultas humaniora. Tubuhnya
ambyar tak keruan, walaupun jika dilihat dari agak jauh dia tampak utuh, bahkan
sepertinya mati dengan tenang. Ia tidak ke kampus di hari pemuda itu mati.
Teman-temannya yang memberi kabar.
Kadang-kadang,
saat ia sedang di rumah sendirian, ia bisa merasakan kehadiran pemuda itu; di ruang
tamu bersamanya, memperhatikannya. Ketika itu terjadi, mula-mula ia merasa agak
takut, tetapi ia senang. Karena ia tahu bahwa ia tidak benar-benar sendirian.
Aku?
Oh, ia sangat menyukaiku. Suka, tetapi tidak tertarik. Dan hal itu membuatnya
sedih, seperti aku yang bahkan merasa lebih sedih. Karena ia sangat ingin
tertarik dengan orang sepertiku. Seseorang yang pintar, santun, dan sungguh-sungguh
mencintainya.
Setahun
ini ia punya affair dengan pedagang
barang seni yang usianya lebih tua. Laki-laki itu sudah menikah dan sama sekali
tidak berencana cerai dari istrinya. Kepada laki-laki itulah, ia tertarik.
Jahat sekali. Jahat bagiku dan jahat baginya.
Hidup
akan lebih simpel andai saja ia tertarik padaku.
*
Ia
mengizinkanku menyentuhnya. Kadang-kadang kalau punggungnya sakit, ia bahkan memintaku melakukannya. Saat aku
memijatnya ia akan memejam dan tersenyum. “Enak,” ia bilang, “enak banget.”
Sekali
waktu, kami bahkan bercinta. Usai merenunginya, ia bilang itu kesalahan. Sebagian
dari dirinya terlalu menginginkan hubungan kami berhasil sehingga ia tidak
berpikir panjang. Tetapi wangiku, tubuhku, sesuatu di antara kami tidak bisa klop. Ia sudah empat tahun kuliah
psikologi dan tetap tak bisa menjelaskan apa yang terjadi. Pikirannya
menginginkanku, tetapi tubuhnya enggan.
Memikirkan
momen bercinta kami malam itu membuatnya sedih. Banyak hal yang membuatnya
sedih. Ia masih seperti kanak-kanak. Hampir seluruh masa kecilnya ia lalui
sendirian. Ayahnya sakit, sekarat, lalu meninggal. Ia tidak punya abang yang
bisa mengerti dirinya, yang bisa mengemongnya. Aku satu-satunya yang bisa ia
anggap abang. Aku, dan Kuti; itu nama laki-laki yang lompat dari gedung
fakultas humaniora.
*
Ia
bisa mengobrol selama berjam-jam denganku tentang apapun. Ia bisa tidur
denganku, melihatku tanpa pakaian, dan berada di sekitarku tanpa pakaiannya.
Tidak ada hal apapun di antara kami yang membuatnya malu. Bahkan ketika aku
masturbasi di sampingnya. Walaupun meninggalkan noda di seprei, dan itu
membuatnya sedih. Sedih karena ia tak bisa mencintaiku, tetapi jika hal
tersebut bisa membuatku merasa baikan, ia rela membersihkan noda itu.
Sebelum
ayahnya wafat, mereka berdua sangat dekat. Ia dan Kuti juga dekat. Kuti jatuh
cinta padanya. Aku satu-satunya orang yang dekat dengannya yang masih hidup.
Namun, pada akhirnya aku mulai kencan dengan gadis lain, dan ia kembali
sendiri. Ia tahu, ini pasti terjadi. Dan ketika betul-betul terjadi, ia
bersedih. Sedih pada dirinya sendiri, tetapi juga bahagia untukku karena aku
menemukan cinta.
Saat
aku keluar, ia mengusap wajahku dan berkata bahwa meskipun ia merasa sedih, ia
juga tersanjung. Tersanjung, karena di antara seluruh perempuan yang ada di
dunia, ia satu-satunya yang aku bayangkan ketika aku masturbasi.
*
Pedagang
barang seni yang tidur dengannya juga, dia lebih pendek dariku dan berbulu
lebat. Entah di mana menariknya. Dia tentara Netanyahu, dan berteman dengannya.
Benar-benar berteman. Kadang, saat dia mengunjungi pacarku, dia bilang kepada
istrinya bahwa ia pergi ke tempat Bibi-Netanyahu
itu sendiri.
Suatu
hari, ia tidak sengaja bertemu laki-laki itu bersama istrinya di mal. Jarak
mereka cuma beberapa langkah. Ia tersenyum kepada laki-laki itu; senyum tipis
dan diam-diam. Laki-laki itu mengabaikannya; melihatnya tetapi seperti tidak
melihat apa-apa. Seakan-akan ia hanya udara kosong.
Ia
mengerti laki-laki itu tidak bisa membalas senyumnya atau menyapanya karena
istrinya ada di sana, tetapi tetap saja rasanya menyakitkan. Ia berdiri
sendirian di sebelah telepon umum dan mulai menangis.
Malamnya
adalah malam ketika kami bercinta untuk kali pertama. Usai merenunginya, ia
bilang itu kesalahan.
*
Empat
laki-laki yang pacaran dengannya pernah mencoba bunuh diri. Dua dari mereka
bahkan berhasil melakukannya. Keduanya adalah laki-laki yang paling ia
pedulikan. Mereka dekat dengannya, sangat dekat, seperti abang kandung.
Kadang-kadang,
saat ia sedang di rumah sendirian, ia bisa merasakan kehadiran kami; di ruang
tamu bersamanya, memperhatikannya. Ketika itu terjadi, mula-mula ia merasa agak
takut, tetapi ia senang. Karena ia tahu bahwa ia tidak benar-benar sendirian.
Komentar
Kau inspirasiku. Makasi Bang Bernard Selfry yamaraja Batubara.
Pring: Silakan, Di. Kalau mau dipublikasikan di tempat lain, sertakan tautan aja.